Izinkan saya untuk mengklarifikasi judul tulisan ini "Menghamba pada Scopus, Ambyar".
Menurut KBBI, menghamba itu berasal dari kata "hamba" (nomina) yang artinya 1) abdi; budak belian, dan 2) saya (untuk merendahkan diri). Maka "menghamba" (verba) dapat diartikan mengabdi (kepada). Lalu siapa Scopus? Scopus adalah pangkalan data pustaka yang mengandung abstrak dan sitiran artikel jurnal akademik. Tidak lebih tidak kurang. Sementara "ambyar" itu kata percakapan yang berarti: bercerai-berai; berpisah-pisah; tidak terkonsentrasi lagi.
Tidak dapat dibantah, publikasi ilmiah adalah hal yang penting untuk dilakukan kalangan ilmuwan atau akademisi. Walaupun menurut saya sebagai pegiat literasi, publikasi ilmiah bukanlah satu-satunya sarana untuk mempublikasikan ide gagasan yang cemerlang maupun hasil penelitian. Karena sejatinya, publikasi dapat dilakukan di mana saja. Misalnya melalui koran, majalah, website, dan jurnal ilmiah. Hanya saja, di kalangan akademisi, jurnal ilmiah dianggap paling berbobot dan bergengsi. Karena berimplikasi terhadap tunjangan atau kepangkatan.
Atas alasan itulah dan ditambah kebijakan Kemenristek Dikti, mau tidak mau, kalangan akademisi di perguruan tinggi manapun jadi berlomba dan berpacu untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah di kancah internasional. Tentu, bentuknya jurnal bereputasi internasional. Hanya sayangnya, jurnal bereputasi internasional itu "disederhanakan" hanya menjadi jurnal yang ter-indeks oleh Scopus. Dan itu sah-sah saja sejauh proses dan kaidah ilmiahnya dapat dipertanggungjawabkan. Namun saking sulit dan lamanya proses untuk bisa bertengger di Scopus, para akademisi pun jadi salah kaprah alias kebablasan. Atas spirit "yang penting scopus", akhirnya kualitas artikel ilmiah tidak lagi terjaga. Silakan diamati, berapa banyak sih artikel ter-indeks scopus yang berkualitas?
Scopus pun jadi makin seperti "dewa" dan didapuk sebagai penentu nasib akademisi atau dosen. Bahkan parahnya, scopus yang notabene juga produk kapitalis kini berkembang menjadi "pengontrol" intelektual akademisi di Indonesia. Katanya, intelektual atau tidak intelektual tergantung berapa banyak artikel atau penelitian kita yang ter-indeks scopus. Semoga asumsi saya ini salah. Sehingga para akademisi itu benar-benar "tidak menuhankan" scopus. Maka sekarang, ramai beredar di grup WhatsApp, Instragram, dan media sosial di kalangan akademisi berbagai agenda konferensi ilmiah dengan iming-iming manuskripnya akan dipublikasikan dalam prosiding yang terindeks Scopus. Jujur, realitas inilah yang harus dikaji ulang pemerintah terkait dengan publikasi ilmiah di jurnal bereputasi internasional. Harus dikaji ulang secara serius, apa begitu yang akhirnya diharapkan?
Akademisi harusnya tidak boleh lupa. Biar bagaimanapun hebatnya, scopus tetap saja produk kapitalis. Atas nama bereputasi internasional, scopus pun menjalankan prinsip ekonomi paling dasar, yaitu "meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya". Bagaimana tidak? Karena scopus pun merupakan bagian dari raksasa bisnis penerbit internasional, Elsevier. Dan di situ, ada perputaran uang besar yang bisa direngguk. Itu pasti.
Bila kita sepakat. Sebenarnya jurnal ilmiah adalah sarana komunikasi hasil telaah dan temuan-temuan ilmiah bidang-bidang keilmuan yang keren. Jadi, ter-indeks scopus pun tidak masalah. Sejauh artikel ilmiah diproses secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan bukan hanya berdasar logika. Tapi tetap melibatkan etika dan hati nurani. Nah, soal etika dan hati nurani ilmiah itu hanya ada di individu akademisinya. Sungguh tidak banyak yang mau belajar. Bahwa untuk bisa tampil di jurnal internasional, objektif-nya harus ada proses secara ketat dan butuh waktu. Agar telaah dan temuan riset kita betul-betul teruji melalui mekanisme yang seharusnya, bukan yang instan atau kualitas seadanya.
Maka kemudian, scopus pun menimbulkan pro kontra. Karena ada sinyalemen belakangan ini, jurnal berputasi internasional itulah jadi sebab munculnya kecurangan kaum akademisi. Asal ter-indeks scopus jadi curang. Sebut saja cara mendapatkan ID Scopus yang instan dengan bayaran lumayan. Atau timbulnya perilaku "bablas" mensitasi (mengutip, merujuk) karya sendiri untuk karya-karya berikutnya yang belum tentu relevan. Imbauan untuk saling mensitasi di perguruan tinggi. Atau berkongsi agar ter-indeks scopus walau kajiannya tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan si akademisi. Buat saya, scopus telah bergeser jadi kartel ilmiah; penerbit reputasi internasional yang bermaksud mengendalikan "harga" intelektualitas akademisi. Hingga akhirnya terjerembab ke dalam "jurnal predator". Sebuah "pasar gelap" publikasi ilmiah yang menjebak akademisi. Sungguh menyeramkan.
Ini kisah nyata saya. Oktober tahun 2019 lalu, saya ikut mendaftar sebagai pemakalah Konferensi Ilmiah Internasional ICELS dari Pascasarjana UNJ. Bayarnya Rp. 2,5 juta. Setelah itu, panitia menerbitkan prosiding ber-ISBN. Lalu, prosiding itu diterbitkan di SciTePress Digital Library yang bermarkas di Portugal pada 8 Januari 2020 (https://www.scitepress.org/PublicationsDetail.aspx?ID=TVc0E09jByc%3d&t=1). Kemudian salah satu peserta ICELS di Grup WA bertanya pada panitia, apakah setelah di SciTePress akan terbit di jurnal ter-indeks scopus. Panitia menjawab, prosesnya akan dilakukan dan paling cepat konfirmasinya di Januari 2021, itupun belum tentu diterima. Sebagai dosen dengan pengamalan mengajar lebih dari 26 tahun, saya hanya berpikir "oh, begitu ya prosesnya di scopus". Dan hingga kini, saya cukup tahu saja dan biasa-biasa saja.
Saya sangat setuju dengan tulisan Edi Subkhan dari UNNES (2019) yang menyebutkan bahwa kebijakan soal publikasi seharusnya ditekankan pada keterjagaan kualitas akademik dan tidak melulu menggantungkan diri pada Scopus. Kemenristek Dikti harus mencoba untuk merumuskan ulang pengertian publikasi bereputasi internasional, baik jurnal ilmiah, prosiding, maupun penerbit-penerbit jurnal internasional. Reputasi ilmiah sebetulnya dibangun oleh komunitas-komunitas intelektual yang pakar di bidangnya masing-masing. Bukan hanya scopus, karena dominasinya yang sangat hegemonik menjadikan banyak pihak mengkritik bias indeksasi Scopus-Elsevier, cara aksesnya, dan soal orientasi bisnisnya.