Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Catatan Hari Buku Sedunia, Jangan Benci yang Tidak Perlu Dibenci

Diperbarui: 23 April 2020   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pribadi

Sebuah "pengakuan" di Hari Buku Sedunia, hari ini 23 April 2020. Persis jelang 1 Ramadhan 1441 H, bulan puasa. Bulannya kaum muslim untuk menahan diri, memperbanyak ibadah.

Pengakuan, bisa jadi hal yang paling langka di dunia ini. Hari-hari belakangan ini.

Sebuah keberanian, bagi siapapun, untuk mengaku atau mengakui. Mengaku tentang apa saja. Tentang cara atau perbuatan untuk mengaku, dalam hal apapun. Sesuatu yang harus diakui, megakui realitas yang terjadi. Sebut saja sebuah pengakuan.

Siapapun, harus mengakui. Hingga hari ini tidak kurang dari 568 hoaks atau kabar bohong terkait Covid-19 telah beredar. Covid-19 bukan dicegah atau disembuhkan. Tapi di-eksplor jadi bahan kebohongan. 1 dari 2 orang Indonesia pun kini punya akses terhadap internet. 

Tapi sayang, tradisi bacanya tidak lebih dari 1 jam sehari. Sementara berselancar di dunia maya bisa 5,5 jam sehari. PSBB akibat wabah virus corona Covid-19 pun sudah diterapkan. Tapi keramaian dan lalu-lalang masih ada di jalanan, di tempat nongkrong. Mudik sudah dilarang tapi pemudik terus mengalir. Hingga semua bingung, gimana kita seharusnya sebagai bangsa? Sungguh, semua itu harus diakui. Sebuah pengakuan yang harus diakui.

Sebuah pengakuan lagi.

Hari ini #DiRumahAja tapi hati galau, pikiran bete. Persis seperti orang yang puyeng tapi berlagak tenang. Iya, seperti orang gak punya duit tapi bergaya selangit. Seperti kaum jomblo yang sibuk ingin berduaan. Seperti orang serius kuliah tapi pas ditanya tidak tahu apa-apa. Orang-orang yang merasa peduli. Tapi tidak berbuat apa-apa, tidak pernah terjun ke lapangan untuk peduli. Ibarat "orang yag memegang buku tapi tidak pernah dibacanya". Realitas itu harus diakui, sebuah pengakuan.

Sebuah pengakuan. Entah, kenapa sulit sih untuk mengakui kekurangan dalam diri? Kenapa harus sulit meminta maaf bila terjadi kesalahan? Dan kenapa pula harus membenci pada orang yang tidak seharusnya dibenci? Tanya kenapa? Itu sebuah pengakuan.

Suatu kali. Ada orang-orang pintar ngobrol di kedai kopi. Orang-orang hebat ngobrol bareng. Lalu, mereka bilang gini "Kenapa ya, bangsa Indonesia yang kaya raya gini kok penduduknya masih banyak yang miskin?" 

Buat saya, itu obrolan orang keder. Karena mereka yang ngobrol, lalu mereka yang tanya pula. Tapi anehnya, tidak ada yang bisa menjawab. Padahal jawabannya sederhana. Karena mereka tidak mau mengakui bahwa mereka itu tidak bisa ngapa-ngapain. Mereka yang banyak bicara tapi sangat sedikit berbuat.

Maka mumpung mau puasa. Harus diakui, momen pengakua telah tiba.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline