Saat tulisan ini dibuat, tidak ada artikel ataupun opini yang membahas tentang "saksi ahli bahasa". Sementara realitasnya, banyak kasus hukum yang sedang bergulir atau telah diputus oleh pengadilan sangat berkaitan erat dengan "soal pemaknaan secara bahasa". Sebut saja seperti: kasus "hoaks" Ratna Sarumpaet, ujaran "idiot" Ahmad Dhani, atau kasus "bau ikan asin" Galih Ginanjar. Belum lagi kasus akibat penghinaan atau pencemaran nama baik di media sosial (medsos) seperti yang dialami Ibu Zikria "kodok betina" terhadap Wali Kota Surabaya yang akhirnya meringkuk di penjara atau seorang wanita di Medan yang "menagih utang" di Instagram pun dipidanakan pencemaran nama baik. Intinya, semua kasus-kasus itu di tahap penyidikan pasti melibatkan saksi ahli Bahasa.
Bermula dari dasar hukum UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP, sangat tegas diatur tentang larangan perilaku berbentuk "berita bohong -- pencemaran nama baik -- ujaran kebencian - penghinaan -- hasutan -- menyerang kehormatan -- penistaan -- fitnah -- atau mentransmisikan tanpa izin".
Atas dasar itu, upaya pembuktian "teks tertulis" kasus-kasus tersebut, khususnya melalui media massa atau media sosial, diperlukan saksi ahli Bahasa atau keterangan ahli bahasa.
Mengapa saksi ahli Bahasa?
Karena menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ada 5 (lima) alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktikan suatu kasus, yaitu: 1) keterangan saksi, 2) keterangan ahli, 3) surat, 4) petunjuk, dan 5) keterangan terdakwa. Maka, saksi ahli Bahasa diperlukan sebegai bagian pemenuhan "keterangan ahli". Keteranga ahli (Pasal 1 angka 28 KUHAP) adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Jadi, itulah dasar keberadaan "saksi ahli bahasa".
Saya memang bukan orang hukum. Tapi saya setidaknya pernah dan telah diminta menjadi "saksi ahli bahasa" pada beberapa kasus hukum, baik saat penyidikan maupun pengadilan.
Maka penting, untuk diketahui semua pihak, tentang "saksi ahli bahasa" atau "keterangan ahli bahasa" sebagai informasi dan acuan. Tentu, masih ada saksi ahli lainnya, seperti: saksi ahli IT, saksi ahli kriminal, saksi ahli pendidikan, saksi ahli politik, dan sebagainya.
Secara prinsip, saksi ahli adalah orang yang pendapatnya berdasarkan pendidikan, pelatihan, sertifikasi, keterampilan atau pengalaman dapat diterima sebagai ahli.
Karena itu, hukum dapat mempertimbangkan opini khusus saksi (ilmiah, teknis atau lainnya) tentang bukti atau fakta sebelum pengadilan sesuai keahlian ahli, itulah yang disebut sebagai "keterangan ahli". Saksi ahli juga dapat memberikan "bukti ahli" sesuai bidang keahliannya. Namun di saat yang sama, kesaksian ahli pun dapat dibantah oleh kesaksian dari para ahli lainnya atau dengan bukti atau fakta lainnya.
Nah khusus saksi ahli bahasa, siapapun orangnya, prinsip dasar yang harus dipegang adalah sikap profesional. Dalam KBBI, professional dapat diartikan 1) bersangkutan dengan profesi; 2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya: dan 3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir). Itu berarti, kriteria utama seorang profesional adalah memiliki pengetahuan seorang pakar atau ahli (expert), khususnya mengenai bidang keahliannya. Umumnya, saksi ahli bahasa berasal dari kalangan akademisi atau praktisi yang akademisi. Kriteria saksi ahli bahasa harusnya 1) memiliki latar belakang pendidikan bidang Bahasa, 2) memiliki pekerjaan pendidikan bahasa, dan 3) memiliki pengaaman di bidang kebahasaan. Atas dasar itu, keberadaan saksi ahli bahasa harus dihormati dan dihargai. Karena ahli bahasa, sebagai seorang profesional mau atau bersedia untuk menyumbangkan pemikiran keahliannya untuk kasus hukum tertentu, termasuk mengorbankan waktu dan tenaganya.
Selain itu, untuk menjadi "saksi ahli bahasa", suka tidak suka, syarat utamanya adalah si ahli bahasa harus berpijak pada sikap ilmiah. Yaitu, sikap-sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap ilmuwan atau ahli dalam melakukan tugasnya untuk mempelajari, menganalisis, dan menolak atau menerima suatu teks bahasa.