Timbul pro dan kontra. Tiba-tiba Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim, merilis 4 program pokok kebijakan pendidikan "Merdeka Belajar", yang mencakup: 1) penerapan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), 2) pengubahan Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, 3) pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang efisien dan efektif, dan 4) Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi yang lebih fleksibel.
Merdeka belajar, sudah tentu kebijakan tersebut lahir dari evaluasi sistem dan proses pendidikan yang selama ini berlangsung. Tujuannya sederhana, agar siswa, guru bahkan orang tua terlibat aktif dalam kegiatan belajar yang menyenangkan; menjadi bagian dari proses pendidikan yang membahagiakan.
Karena hakikatnya, pendidikan bukanlah beban. Beban siswa yang dijejali beragam mata pelajaran dan nilai-nilai tertinggi hingga membunuh kerativitas. Beban guru yang lebih banyak terlibat urusan administrasi bahkan kepangkatan yang jadi sebab ruang geraknya tidak merdeka di dalam kelas.
Bolehlah, kebijakan "Merdeka Belajar" sebagai momentum untuk mengembalikan literasi pendidikan ke khittah. Pendidikan yang memerdekakan. Karena memang, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran bagi peserta didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya. Agar literat dalam spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan.
Suka tidak suka, literasi pendidikan di Indonesia memang sudah menyimpang. Pendidikan secara proses telah berkembang menjadi beban, baik bagi siswa, guru maupun orang tua.
Praktisi pendidikan seakan lupa, bahwa pendidikan harusnya bertumpu pada 1) penciptaan suasana belajar yang menyenangkan, 2) pendidikan pun bisa dibimbing orang lain (guru) atau otodidak (mandiri), dan 3) pendidikan harus mampu "menuntun ke luar" peserta didik dalam menerima realitas dan mengantisipasi dinamika zaman. Maka kebijakan "Merdeka Belajar" secara spirit harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan literasi pendidikan ke khittah, ke ke garis besar perjuangan pendidikan itu sendiri. Ada kesetaraan antara landasan berpikir dan ikhtiar belajar.
Literasi pendidikan itu penting dan melebihi proses pendidikan itu sendiri. Siapapun yang terlibat dalam proses pendidikan; siswa, guru maupun orang tua harus sadar dan paham bahwa pendidikan pada akhirnya berujung pada kemampuan dan keterpahaman siswa sebagai individu. Bukan karena pengaruh "kekuasaan" belajar yang dipegang guru di sekolah atau orang tua di rumah. Itulah basis literasi pendidikan, untuk menimbulkan kesadaran belajar yang mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, literasi pendidikan sangat menghendaki orientasi kebijakan pendidikan di Indonesia yang tidak lagi bertumpu pada penyeragaman administrasi; seperti kurikulum, aturan-aturan guru, dan kewajiban-kewajiban siswa.
Khitah pendidikan seharusnya 1) mampu memerdekakan guru dalam mengajar dan 2) memberi ruang kreativitas siswa dalam belajar sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan. Karena hakikatnya, literasi pendidikan selalu mempersilakan rasa ingin tahu, terjadi komunikasi dialogis, ada ruang kreativitas, dan mampu berkolaborasi untuk meraih kepercayaan diri.
Harus diakui, banyaknya keluhan dan perilaku belajar yang bertentangan dengan norma-norma pendidikan selama ini adalah akibat rendahnya pemahaman tentang pentingnya literasi pendidikan. Hingga jadi sebab sikap masyarakat menjadi apriori dan apatis terhadap pendidikan dan proses belajar.
Sekalipun bukan satu-satunya indikator, merosotnya peringkat Indonesia pada Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, yang berada di urutan ke-72 dari 77 negara akan kemampuan membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan atau sains yang dirilis OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) harusnya jadi momentum untuk membenahi arah kebijakan politik pendidikan dan praktik pendidikan yang berlangsung selama ini.