Sekitar 4 tahun lalu, tahun 2016 saat dia kelas 3 SMP, neneknya datang ke rumah saya untuk silaturahim. Di samping berniat untuk menitipkan "dia" kepada saya. Agar dapat tetap melanjutkan sekolah. Maklum, karena dia selama ini hidup dengan neneknya.
Karena keterbatasan ekonomi, dapat dipastikan saat itu. Neneknya tidak mampu untuk menyekolahkan dia ke SMA. Itulah yang terjadi, seorang anak yatim yang terancam putus sekolah.
Saya sendiri paling takut "berjanji" kepada anak yatim. Walau saya sendiri dan keluarga, saat ini punya 34 anak yatim binaan di Kreao, Cileungsi, dan Kaki Gunung Salak Bogor yang setiap bulan mengaji rutin. Sekalian "sedikit" memberi uang jajan kepada anak-anak yatim.
Maka dengan bismillah dan tentu atas izin Allah SWT. Saya dan keluarga memantapkan niat baik dan kepedulian untuk membiayai sekolah anak yatim ini. Alhamdulillah tahun itu, dia bisa sekolah di SMAN 1 Tamansari Bogor. Uang masuk saat itu Rp. 4 juta dan SPP sebesar Rp. 200.000 per bulan. Tanpa terasa, alahmadulillah. Tahun 2019 ini, dia pun lulus dari SMA. Tugas saya sebagai orang tua asuh pun tuntas. Agar si dia tidak putus sekolah.
Maka, saya pun nyatakan kepada dia. Bahwa tugas saya untuk menyekolahkan sudah selesai. Maka esok, terserah kamu mau gimana? Kata saya pada Mei 2019 lalu.
Namun jawab si dia, membuat saya meneteskan air mata. "Kalo Bapak berkenan, saya mau kuliah pak?". Sungguh, tidak ada yang bisa saya katakan. Selain perasaan terenyuh. Betapa besar motivasinya untuk kuliah. Hanya doa kecil yang saya panjatkan kala itu. "Ya Allah, izinkan saya untuk menguliahkan sambil mendampingi anak yatim ini" dalam hati saya lembut.
Maka, sekalipun saya dosen di Unindra. Saya suruh dia untuk mendaftar ke Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) seperti anak-anak pada umumnya yang mau kuliah. Mengambil formulir, ikut ujian masuk, dan membayar kewajiban sebagai mahasiswa yang diterima. Apa adanya saja.
Alhamdulillah, kini si dia, sudah 2 minggu kuliah sebagai mahasiswa semester 1 Pendidikan Bahasa Inggris FBS di Unindra. Setiiap hari dia berangkat kuliah dari Kaki Gn. Salak ke Unindra. Tentu, bukan aktivitas yang mudah. Selain ongkos-nya lumayan, perjalanannya pun menyita waktu. Sebuah tantangan yang besar bagi anak yatim yang ingin kuliah.
Lalu, siapa anak yatim tersebut?
Bukan siapa-siapa. Saya pun awal mula mengenalnya. Karena almarhum kakeknya adalah orang baik. Teman ngobrol di kebun di Kaki Gunung Salak saat saya nengokin rumah di sana.
Bahkan tidak jarang, kakenya membawakan hasil panena dari kebun untuk saya dan keluarga. Namun, sejak tahun 2011, saya memang secara rutin menggelar pengajian yatim binaan di Kaki Gunung Salak sebulan sekali. Biasanya setelah gajian; mengaji bersama nak0anak yatim sambil memberikan uang jajan kepada mereka.