Indonesia, sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke-5 di dunia disinyalir tergolong negara dengan tingkat literasi yang rendah. Masyarakat dan anak-anak di banyak belahan nusantara ini tidak gemar membaca, apalagi menulis, berhitung atau berkreasi yang menjadi ciri kuat tingkat literasi suatu masyarakat.
Ke depan, realitas tingkat literasi yang rendah kian menyulitkan. Mengingat gempuran era digital yang telah mengubah gaya hidup manusia makin menjauhkan manusia dari bacaan, dari buku.
Karena itu, kesadaran kolektif masyarakat dan pemerintah akan pentingnya memacu tingkat lietarsi sangat diperlukan. Karena bila tidak, bangsa ini bisa terpuruk akibat sulitnya mencari informasi yang kredibel dan menuliskan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Masyarakat yang tidak literat pastinya akan jadi "makanan empuk" bagi era revolusi industri yang bertumpu pada otomatisasi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan. Karena hanya masyarakat yang literat yang mampu jadi "pemain" di era digital. Sementara kaum non-literat hanya menjadi "penonton".
Syarifudin Yunus, pegiat literasi sekaligus Pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka menegaskan ada 7 (tujuh) dampak signifikan dari rendahnya tingkat literasi masyarakat, yakni:
Kebodohan yang tidak berujung. Sehingga sulit membangun masyarakat tertib dan beradab.
Produktivitas yang rendah. Sehingga gagal mengoptimalkan potensi diri dan terlalu bergantung pada orang lain.
Pendidikan tidak berkualitas. Sehingga gagal berkontribusi terhadap kemaslahatan umat.
Angka putus sekolah tinggi. Sehingga kualitas SDM rendah dan menjadi basis meningkatnya pengangguran.
Kemiskinan yang meluas. Sehingga memjadi beban ekonomi dan sulit membangun ekonomi kreatif.
Kriminalitas yang meninggi. Sehingga hidup tidak aman dan tidak nyaman serta memperbesar rasa saling curiga.