Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Bahasa Politik yang Tidak Santun

Diperbarui: 9 Juli 2019   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Kesantunan berbahasa di negeri ini kian menjauh. Maka pantas, kasus pencemaran nama baik, hoaks, dan ujaran kebencian pun tak kunjung surut. Hoaks terbaru adalah soal Audrey Yu yang katanya pernah bekerja di NASA dan bertemu Presiden Jokowi di KTT G20. Belum lagi seorang Ibu yang terjerat kasus penghinaan Presiden sebagai Mumi di facebook-nya.

 Ada lagi kasus seorang pria di Makassar yang menghina Kapolri. Akibat bahasa, terjerat hukum. Persis seperti kasus ujaran kebencian Ahmad Dhani, sang musisi yang akhirnya dijebloskan ke terali besi dan Ratna Sarumpaet yang tengah disidangkan.

Bila dicermati, semua kasus itu fondasinya ada di bahasa. Ada kesantunan berbahasa yang hilang dalam mereaksi suatu berita atau peristiwa. 

Akibatnnya, bahasa yang tidak santun pun menjerat hukum si pemakai bahasanya. Mungkin masih banyak lagi kasus lainnya. Ujaran kebencian, pencemaran, dan hoaks harusnya menjadi pembelajaran terhadap kesantunan berbahasa.

Realitas berbahasa yang penuh kebencian, kebohongan hingga fitnah adalah simbol hilangnya sikap kesantunan berbahasa. Bahasa yang santun makin langka. 

Elit nasional dan publik figur pun gagal menjadi contoh dalam berbahasa. Alhasil, tidak ada lagi tokoh teladan dalam berbahasa di bangsa ini. Semuanya boleh komentar, boleh ngomong apapapun. 

Tanpa tahu implikasi hukumnya. Apalagi di media sosial, kesantunan berbahasa kian terpinggirkan. Semakin banyak orang yang galak dalam berkata-kata, bahasanya semakin menakutkan. Kesantunan berbahasa, entah hilang ke mana?

Bisa jadi, pascapilpres 2019 ini, mungkin sebagain orang tidak lagi tertarik pada siapa presiden terpilih. Tapi lebih mendambakan sikap santun dalam berbahasa.

 Cara berbahasa yang bertumpu pada kesadaran untuk menghormati martabat orang lain, baik lisan maupun tulisan. Kesantunan berbahasa yang bertumpu pada kehalusan tutur kata dan perilaku berbahasa.

 Bahasa yang santun; bahasa yang lebih mendekatkan jarak sosial dan tidak menimbulkan permusuhan. Kesantunan bahasa yang bukan membangkitkan sentimen orang lain.

Bahasa sebagai ruang yang paling bebas dan terbuka untuk ekspresi perlu direvitalisasi. Masyarakat diimabu harus punya kemampuan untuk memilih kata-kata yang tidak asal jeplak

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline