Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Tiga Mentalitas Membangun Kompetensi Menulis Kreatif

Diperbarui: 2 Juli 2019   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Menulis saja susah. Apalagi ditambah kreatif. Maka, susahlah menulis kreatif.

Di era serba digital, bisa jadi, menulis kreatif kian dijauhi banyak orang. Bahkan menulis kreatif seringkali dianggap momok yang meresahkan. Alih-alih, berdalih tidak punya waktu untuk menulis. Jadilah, menulis kreatif sebatas pelajaran; sebatas diskusi yang dianggap penting. Tapi faktanya, menulis kreatif tidak pernah menyentuh praktik, dan bukan perilaku.

Menulis kreatif, sungguh menulis biasa saja.

Tidak menyusahkan apalagi meresahkan. Justru menulis kreatif adalah menulis dengan cara yang beda. Cerita yang tidak biasa, berbeda dari pada umumnya. Sebut saja, novel "Dilan" karya Pidi Baiq yang mampu menghadirkan kisah fiksi seolah kisah nyata. Atau sebaliknya, novel "Negeri Lima Menara" karya Ahmad Fuadi yang mampu mengubah kisah nyata menjadi cerita fiksi. Kedua novel itu kekuatannya, ada pada menulis kreatif; menulis dengan cara beda. Totalitas imajinasi mampu dikemas ke dalam cerita yang pas sehingga bisa mempengaruhi pembaca. Pembaca, solah mampu menikmati karya fiksi.

Menulis kreatif, memang menulis karya fiksi dengan cara yang beda.

Karya yang beda, tentu bisa terjadi pada banyak hal. Tapi intinya, beda dalam menulis, beda dalam menuangkan ide cerita. Karya fiksi yang beda, setidaknya dapat dilihat dari 4 (empat) indikator:

1. Perilaku dalam menulis yang berbeda, seperti karya-karya Chairil Anwar dengan puisi ekspresif-nyatapi berlirik longgar atau Sutarji Calzoum Bachri dengan puisi mantra-nya.

2. Batin dalam menulis yang berbeda, seperti karya N. Riantiarno membuat "Malin Kundang" dalam versi modern.

3. Pikiran dalam menulis yang berbeda, seperti karya-karya Danarto dengan manusia-manusia "aneh" pada setiap karyanya.

4. Karya fiksi yang berbeda, seperti cerpen-cerpen karya Putu Wijaya, drama-drama Arifin C Noer yang plot-nya sering nonkonvensional.

Maka untuk bisa menulis kreatif, siapapun butuh rujukan. Rujukan secara perilaku, batin, pikiran atau karyanya. Dan yang paling penting, menulis kreatif adalah perilaku, perbuatan. Bukan pelajaran apalagi hanya angan-angan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline