2 minggu jelang pilpres 2019 itu situasi yang sulit untuk "senyum".
Susah tersenyum, Karena pilpres, otot makin menguat. Argumen kian sentimen. Saling menuding, saling membenci. Bisa jadi, pilpres bukan lagi demokrasi. Tapi agitasi. Penuh hasutan, semarak hujatan. Senyum pun terkontaminasi.
Senyum jelang pilpres. Hampir lenyap.
Gara-gara beda pilihan kok bikin sulit tersenyum. Gara-gara gak sama, kenapa gak boleh beda. Tersenyumlah dulu. Karena piplres itu bukan pilihan rasional. Tapi pilihan emosional. Sangat subjektif dan personal. Jangan lupakan senyum karena hendak "memaksa" lawan politik. Mantapkan pilihan jelang piplres. Tanpa perlu dipengaruhi siapapun apalagi ingin mempengaruhi siapapun. Senyum jelang pilpres.
Senyum jelang pilpres. Harus tetap ada.
Jangan biarkan, senyum hilang dari diri kita. Hari ini ataupun esok, bahkan semenit pun jangan tidak tersenyum. Karena senyum itu, pekerjaan paling sederhana yang dampaknya luar biasa. Kadang, senyum itu satu-satunya yang mampu mengubah segalanya menjadi lebih indah.
Saat bermain handphone saja, kita bisa tersenyum sendiri. Saat bertemu orang yang tidak dikenal saja bisa tersenyum simpul. Apalagi bersama orang-orang yang ada di sekitar kita. Tersenyumlah jelang pilpres.
Senyum jelang pilpres. Gak ada hubungannya dengan medsos yang memanas. Gak ada hubungannya dengan cinta atau benci kepada capres pilihan. Karena senyum justru "mendinginkan" hati yang kian gelisah; pikiran yang kian egois; hidup yang kian menggeliat.
Senyum. Senyum jelang pilpres.
Senyum itu hal sederhana yang paling banyak dimiliki orang. Senyum bisa dimiliki siapapun. Tapi sayang, masih banyak orang yang sulit berbagi senyum untuk orang lain. Kita tidak diminta berbagi uang, bukan berbagi harta. Apalagi berbagi pangkat dan kekuasaan. Pasti kita tidak mau. Kita hanya diminta berbagi senyum, dengan ikhlas dan tulus.