B-A= BA, C-A=CA. Tradisi baca kian terpinggirkan.
Di musim pilpres begini, bisa jadi membaca kalah dibanding membenci atau mencaci. Karena membaca gak bisa eksis. Lagi gak menarik.
Maka wajar, membaca kian susah hidup di negeri ini. Tergusur dan terpinggirkan bak dihempas angin. Di sekolah, membaca cuma bisa jadi tugas buat ringkasan. Di kampus, membaca cuma jadi bahan buat diskusi atau ngisi waktu dosen yang gak masuk. Maka baca pun kian tersungkur...
Baca, buat sebagian orang udah gak asyik. Antara ketinggalan atau ditinggalkan. Di zaman now, baca kalah sama HP, kalah sama TV. Baca, boro-boro jadi gaya hidup. Dijadiin hobby juga gak dilirik. Jangan anak-anak. Orang dewasa aja kalo disuruh baca, buru-buru jawab gini "elo aja yang baca, abis itu ceritain gue"...
Dr. Taufik Ismail, tahun 1996 pernah meneliti soal rendahnyavminat baca di kalangan pelajar Indonesia. Mulai dari level SD hingga SMA. Selama 12 tahun sekolah, pelajar di Indonesia rata-rata tidak pernah membaca buku. Alias 0 buku. Sementara di Jerman lulusan SMA rata-rata baca 32 buku, anak AS 32 buku, anak Belanda 30 buku, anak Jepang 15 buku, anak Swiss 15 buku, anak Rusia 12 buku, anak Brunei 7 buku, anak Singapura 6 buku, anak Malaysia 6 buku. Semoga sekarang dah berubah, sebab ada kampanye "budaya literasi".
Baca emang gak dipilih banyak orang. Lebih baik pilih capres yang dicintainya. Baca gak ada untungnya. Alhamdulillah, zaman now. Masih ada anak kampung masih mau baca buku, anak kampung yang dekat dengan taman bacaan. Buat mereka, lebih baik baca walau tinggal di kampung. Daripada jadi orang kota yang lupa dan jauh dari hasrat untuk membaca. Omong banyak, baca tak banyak.
Dunia kadang aneh.
Katanya, membaca itu senjata melawan lupa. Tapi nyatanya, gak sedikit orang yang punya senjata untuk lupa membaca ...
Kadang kita suka lupa. Ilmu tanpa baca sama seperti bercinta tanpa tutur kata ... Kalo udah gitu mau gimana lagi? Ciamikk
#BacaBukanMaen #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi