Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Mahasiswa Unindra Jadikan Menulis Ilmiah sebagai Kompetensi

Diperbarui: 21 Desember 2018   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Menulis ilmiah seringkali jadi momok. Dianggap sulit dan gagal direalisasikan oleh mahasiswa dimanapun. Berangkat dari anggapan itu, mahasiswa Semester VII Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Indraprasta PGRI mengubah cara piker menulis ilmiah sebagai kompetensi, sebagai proses menulis yang membutuhkan keberanian. 

Hingga akhirnya, terbitlah buku "Sentimen Bahasa Politik", buku kumpulan artikel ilmiah karya mahasiswa dan dosen yang disajikan secara ilmiah pada 18 November 2018 lalu.

Melalui bimbingan dosen pengampu, Syarifudin Yunus, M.Pd, buku tersebut diluncurkan sebagai jawaban atas "ketakutan" mahasiswa dalam menulis ilmiah selama ini. "Buku Sentimen Bahasa Politik adalah bukti keberanian mahasiswa dalam menulis ilmiah. Hal ini menjadi perilaku penting dalam menulis. Karena menulis bukan hanya pelajaran tapi perilaku yang harus dibuktikan dalam bentuk karya tulisan" kata Syarifudin Yunus di akhir kuliah penutup kemarin di Kampus Unindra.

Banyak orang memahami Menulis Ilmiah sebatas mata kuliah atau bahan pembelajaran. Padahal menulis adalah perbuatan. Karena "menulis" berarti perbuatan atau perilaku menuangkan ide atau gagasan secara tertulis. 

Sedangkan "ilmiah" berarti bersifat ilmiah; memenuhi kaidah ilmu pengetahuan. Maka, Menulis Ilmiah merupakan perilaku dalam menuangkan ide atau gagasan secara tertulis yang memenuhi kaidah ilmu pengetahuan. Antonim "menulis ilmiah" adalah "menulis nonilmiah".

Oleh karena itu, Menulis Ilmiah harus berlandaskan kompetensi. Kompeten dalam menulis, kompeten dalam berpikir ilmiah. Banyak orang belajar Menulis Ilmiah tapi pada akhirnya tetap tidak bisa menulis ilmiah. Karena banyak guru atau dosen Menulis Ilmiah yang hanya mengajarkan materi tapi tidak memberi contoh nyata untuk menulis ilmiah. 

Menulis Ilmiah menjadi gagal ketika para pembelajar tidak mampu menulis ilmiah, ketika pengajar tidak mau dan tidak mampu menjadi contoh dalam menulis ilmiah. Menulis Ilmiah hanya sebatas dipelajari, tetapi tidak dilakukan. Sekali lagi, menulis ilmiah adalah kompetensi.

Adalah fakta, minat dan jumlah tulisan ilmiah di Indonesia masih sangat rendah. Data dari Scientific American Survey (1994) menunjukkan bahwa kontribusi tahunan Scientist dan Scholars Indonesia pada pengetahuan (knowledge), sains, dan teknologi hanya 0,012 persen. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura 0,179 persen. 

Apalagi dibandingkan kontribusi ilmuwan di AS yang mencapai 20 persen. Data lain, di Indonesia hanya ada 0,8 artikel per satu juta penduduk, sedangkan di India mencapai 12 artikel per satu juta penduduk. Maka wajar, kemampuan menulis ilmiah di Indonesia berada di posisi terendah dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, atau Thailand.

Maka solusi dalam belajar Menulis Ilmiah, tidak ada yang lain selain menjadikan menulis sebagai kompetensi. Berani dalam menulis ilmiah, gemar dalam menulis ilmaih. Menulis Ilmiah tidak hanya bahan ajar. 

Tapi harus menjadi perilaku atau kebiasaan dalam menulis ilmiah. Caranya sederhana, pembelajar maupun pengajar harus latihan menulis yang serius, terarah, dan sesuai kaidah penulisan ilmiah. Setelah itu, berani untuk mempublikasikannya sehingga bermanfaat bagi pembaca. Menulis Ilmiah harus dilandasi "keteladanan", contoh dan perilaku yang baik dalam menulis ilmiah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline