Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Sentimen Bahasa Politik, Teks Sarkasme Penuh Akrobatik

Diperbarui: 28 Oktober 2018   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

SENTIMEN BAHASA POLITIK

Siapa yang gak kenal istilah #2019GantiPresiden yang dilawan #2019DuaPeriode. Belum lagi istilah "Cebongers" lalu dilanjutkan "Tahun 2030 Indonesia Bubar" hingga datang "Stuntman Pencitraan" yang menjadi sebab kebohongan "muka bengkak katanya dianiaya padahal bedah plastik" sehingga membuat "99% orang Indonesia hidup sangat pas-pasan" yang jadi sebab "tempe setipis ATM" dan akhirnya muncullah "Politikus Sontoloyo". Terlepas dari siapa yang ngomong begitu. Tapi sebagian bilang itu kata-kata "suci" sebagain lagi bilang itu kata-kata "kotor". 

Sentimen Bahasa Politik, telah menghiasi jagat politik dan media sosial kita. Kata-kata itu semua realitas bahasa politik di Indonesia. Maklum jelang, pilpres 2019. Semua politisi, semua partai dan koalisinya, semua capres-cawapres sedang menari di atas "panggung politik" untuk satu tujuan; meraih kekuasaan. 

Sebagai orang bahasa, saya mengamati "teks politik -- kata-kata politik" yang beredar dalam 3 bulan terakhir, 90% isinya hanya celotehaan, sindiran, dramatisasi masalah belaka. Tidak ada alasan untuk memberi solusi, tidak ada tindakan konkret untuk mengatasinya. Bahasa yang pandai menemukan masalah, tanpa bisa menyelesaikan masalah. Itulah bahasa politik.

Kata-kata kebencian, kosakata cacian dan makian. Hanya cermin bahasa politik yang beredar saat ini. Saling sindir, saling ejek, hingga saling mencaci. Itulah warna bahasa politik yang penuh sentimen. Sebutlah "Sentimen Bahasa Politik", gejala bahasa yang makin membahana di hari ini dan hari-hari ke depan, hanya untuk kepentingan politik.

Sentimen bahasa politik.

Ya itu hanya terjadi pada komentar yang nadanya miring. Kata-katanya bermuatan negatif. Bahkan tidak sedikit yang kosakata-nya berisi kebohongan atau fitnah. 

Bahkan data dan fakta bisa dibuat sendiri hanya untuk kepentingan politik. Bahasa politik memang penuh sentimen; kata-kata yang ditumpangi ejekan, cacian, hujatan, dan sebagainya. Sekali lagi, sebut saja itu semua "sentiment bahassa politik". Karena sentimen, basisnya hanya ketidaksukaan, kebencian, dan rasa permusuhan.

Suka tidak suka, masyarakat memang harus lebih cerdas dalam menyerap bahasa politik. Sadar atau tidak sadar, masyarakat harusnya tidak perlu mengikuti "gaya bahasa berperang" para elit politik. Karena memang ada strategi di dua kubu itu, untuk menanamkan "bibit" kebencian untuk saling mengalahkan, menjatuhkan.

Sentimen bahasa politik, tidak lain sebuah teks sarkasme yang akrobatik. 

Panggung politik jelang pilpres 2019, memang tiada hari tanpa sentimen. Apalagi di medsos. Sentimen kian merebak dan kian melimpah ruah. Kata-kata atau kalimat politik, teks politik selalu menjadi sumber kegaduhan. Sentimen bahasa politik kian merajalela. Walau itu sah-sah saja, boleh-boleh saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline