Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Novel "Tanpa Kata", Sebuah Interpretasi Filosofis

Diperbarui: 20 Juli 2018   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TANPA KATA: SEBUAH INTERPRETASI FILOSOFIS

oleh: Jujun S. Suriasumantri

Telah banyak reviu mengenai buku Tanpa Kata yang ditulis oleh berbagai pihak. Saya tidak akan mengulangi mengenai hal yang sama tetapi akan menambahkan apa yang saya tahu mengenai entitas buku tersebut. Ada dua hal yang melatarbelakangi pembahasan saya. 

Pertama, meskipun pengarang yakni Prof. Dr. Endy Boeriswati secara akademik dan profesional adalah Guru Besar dalam Pendidikan Bahasa Indonesia, banyak orang tidak tahu bahwa beliau adalah orang yang sangat kompeten dalam bidang Filsafat Ilmu, karena menjadi asisten/pengajar selama berahun-tahun. Diametral dengan berpikir secara verbal yang lentur Endry berpikir bukan saja rasional tetapi juga sistematis dan analitis. Hal ini sangat jelas tercermin dalam novel yang dikarangnya.

Kedua, terdapat dua golongan yang berkecimpung dalam bidang kreatif. Dalam penulisan novel, umpamanya, pertama: ada pengarang yang menulis buku buku karena dia ingin menceritakan sesuatu, apakah itu fenomena atau peristiwa luar biasa, atau kedua: pengarang ingin menyampaikan sesuatu dan mempergunakan novel sebagai media untuk mengkomunikasikan hal itu. Endry termasuk pengarang golongan kedua. Dalam karyanya dia ingin sharing sesuatu dengan pembacanya.

Dan, yang ingin Endry shares dengan kita semua adalah perspektif nilai dalam kehidupan masa kini.

Kita banyak sekali berbicara tentang nilai baik secara politis seperti revolusi mental atau secara edukatif dalam bidang pendidikan afektif maupun pembentukan karakter. Semua upaya ini mengandung banyak sekali gagasan dan proposisi yang sangat meyakinkan secara argumentatif tetapi menjadi disfungsional secara operasional. Mengapa semua ini terjadi? Karena semuanya disorganized dan tidak tertata apik baik secara sistematis dan hierarkis seperti, umpamanya, Teori Motivasi Maslow. Jadi kita tidak tahu mana yang penting dan mana yang tidak penting; mana yang didahulukan dan mana yang dilakukan kemudian.

Berbicara mengenai sistematika dan hierarki mungkin kita dapat mengambil filsafat ilmu sebagai contoh. Dalam berpikir filosofis di bidang keilmuan, terdapat pikiran dasar yang menjadi fundasi suatu sistem pemikiran seperti postulat, asumsi dan prinsip. Postulat anggapan dasar secara rasional tentang suatu objek yang jadi pemikiran kita yang bukan saja kita terima secara nalar tetapi juga kita yakini oleh akal budi kita. 

NKRI, umpamanya, adalah postulat sistem ketatanegaraan kita. Kalau postulatnya berubah maka semuanya berubah. Asumsi adalah anggapan dasar tentang realitas empiris tentang objek yang jadi pemikiran kita. Asumsi ini harus mengandung kebenaran objektif yang dapat diverifikasi. Prinsip adalah kaidah pokok dalam proses penjabaran atau pengejawantahan sistem pemikiran,

Buku Tanpa Kata menyampaikan bahwa postulat dalam hubungan cinta (atau hubungan apa saja) adalah komitmen. Bila kita sudah menyatakan komitmen kita bahwa "hubungan cinta harus berhasil" maka semua rintangan, risiko, kesalahan dan perbedaan hanyalah merupakan permasalahan yang harus diselesaikan dengan mengedepankan komitmen bahwa hubungan harus berhasil. Jadi terdapat gradasi dalam kita menilai kekurangan kita selaku manusia. Kita tidak mengubahpostulat jika sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan karena asumsi yang salah atau karena tindakan yang tidak benar; melainkan memperbaiki asumsi dan tindakan kita.

Maka dalam konteks pemikiran di atas inilah kita dapat memaknai apa yang disampaikan oleh Tanpa Kata dalam halaman 67:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline