Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Di Mana Bumi Dipijak, di Situ Langit Dijunjung

Diperbarui: 25 Mei 2017   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DI MANA BUMI DIPIJAK DI SITU LANGIT DIJUNJUNG ?

Itu cuma peribahasa. Kalo kata orang tua dulu atawa guru bahasa, artinya “kita harushormati adat istiadat di tempat tinggal kita”. Tapi bagi saya, gak hanya itu. Lebih dari itu, saya mengartikannya “di manapun saya berada, di mana saya punya tempat tinggal di situlah tempat terbaik saya. Maka saya terima penuh rasa syukur” …

Dan seperti sudah jalannya. Sejak kuliah dulu, saya aktif mengajar di Yayasan Suprapto Suparno Kp. Makassar. Tiap malam minggu bersama teman-teman aktivis ada di situ, 4 tahunan punya program cuma ngajarin ratusan anak-anak yatim tiap malam minggu. Hingga kerja di SetNeg RI pun, seusai kuliah, bersama teman-teman ngumpulin 2,5% dari gaji tuk disedekahkan ke anak-anak yatim di Gunung Salak, ketika masih jadi tempat main di masa kuliah.

Seperti sudah jalannya lagi, jodoh saya yang kini jadi istri pun “dipertemukan” kali pertama tahun 1995 saat santunan anak-anak yatim piatu di Gunung Salak Bogor. Gak perlu saya cerita begimana bisa jadi istri. Tapi yang jelas, saya punya rumah di Gunung Salak itu salah satu alasannya karena jadi “tempat bersejarah” saya dan istri. Selain karena pemandangan alam, cuaca, dan suasana yang sederhana lagi adem.  

Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Emang udah jalannya lagi. Sejak menikah Oktober 1996 pun, saya dan istri tinggal di “gubuk kami berdua” di Kreo. Dan di situ saya memulai untuk menjalankan pengajian yatim piatu binaan. Mulai dari 1 anak yatim, bergonta-ganti karena sudah lulus SMA dan menikah. Dan kini di rumah saya di Kreo ada 10 anak yatim binaan yang setiap bulan rutin mengaji bersama di rumah. Ini tempat tinggal pertama saya.

Alhamdulillah. Sejak tahun 2008, saya pun mulai menjalankan pengajian anak yatim binaan di Warung Loa Gunung Salak Bogor. Rumah kedua yang saya miliki di tahun 2002, rumah masa pensiun saya. Sampai sekarang saya masih bergaul dengan 10 anak-anak yatim binaan saya yang ada di sini. Anak-anak yang “ditinggal” orang tua, yang meninggal akibat kemiskinan. Buat saya, siapapun meninggal dunia memang takdir Allah. Tapi jika sakit dan tidak mampu berobat, maka ikhtiar medis tidak bisa dilakukan. Itulah kemiskinan.

Memang, perjalanan hidup memang gak ada yang instan. Semua butuh proses, sambil tetap kerja keras.

Alhamdulillah lagi, sejak 2010, saya “berani memutuskan” untuk membeli rumah ke-4 di Harvest City (kalo yang ke-3 di Apartement Gateway Petukangan, gak menarik diceritain). Emang sudah jalannya lagi kali, di sini pun tiba-tiba satpam datang dan memberi tahu ada saudaranya meninggal sehingga anaknya jadi yatim. Saya respon untuk ya udah silakan ke rumah saya tiap bulan untuk ngaji. Dari sini saya mulai adanya pengajian yatim binaan di Harvest City Cileungsi. Hingga kini, ada 12 anak dan 5 janda yang selalu ikut pengajian bulanan secara rutin. Alhamdulillah berjalan lancer bahkan berkah. Karena di kurun waktu ini, saya bisa nambah beli rumah cash di Klaster Orchid Harvest City (rumah ke-5) dan di Grand Sentul (rumah ke-6). Berkah itu makin bertambah, hingga bisa nyicil rumah lagi di Puri Lakshita Bojong Gede (ke-7) hingga sekarang. Barakallah …

Belum lama ini, saya pun memutuskan membangun kontrakan di Wanaherang Gunung Putri. Lagi-lagi, emang udah jalannya. Orang kampung situ “mempertemukan” saya dengan 5 nenek jompo yang “jauh dari perhatian”. Saya pun memutuskan menjadikan mereka sebagai jompo binaan. Dan sudah berjalan 2 bulan ini, 5 jompo itu tiap bulan mengaji bersama saya di kontrakan saya.

Apa yang ingin saya katakan melalui tulisan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline