Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Mengenal Tipe Bahasa Persuasif dan Relasi Budaya Cagub DKI Jakarta

Diperbarui: 12 Februari 2017   02:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Selain debat publik, cara untuk mengenal kualitas pasangan calon (paslon) Gubernur DKI Jakarta dapat dilakukan melalui teknik bahasa persuasif dan relasi budaya yang digunakan selama kampanye.Teknik bahasa persuasif dan relasi budaya paslon intinya menyiratkan motif berbahasa setiap paslon dalam membujukatau memengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku pemilih. Dari sini pula, tiap tutur kata para paslon selama kampanye menjadi sinyalkecenderungan tipe relasi budaya terhadap konstituennya.

Di tengah hiruk-pikuk kompetisi Pilkada DKI Jakarta dan maraknya propaganda netizen di media sosial, menjadi penting disajikan realitas teknik bahasa persuasif dan relasi bahasa yang dimiliki masing-masing paslon. Apalagi menjelang hari H pemungutan suara 15 Februari 2017, pemahaman masyarakat Jakarta terhadap kualitas berbahasa paslon dapat menjadi indikator dalam menentukan paslon pilihannya. Terlebih lagi bagi  10 persen undecided voters.Kecilnya selisih elektabilitas para paslon Gubernur DKI Jakarta tidak cukup dihadapi denganmenguatnya identitas sosial berbasis primordialitas. Maka, teknik bahasa persuasif dan tipe relasi budaya para paslon patut menjadi acauan.

Teknik bahasa persuasif, utamanya bertumpu pada bahasa kampanye yang bersifat membujuk pemilih, pilihan kata berpengaruh kuat terhadap emosi dan sentimen pemilih. Keraf (2004) mengklasifikasikan teknik bahasa persuasif ke dalam 1) rasionalisasi, yang berbasis logika kebenaran, 2) identifikasi, yang berbasis promosi diri, dan 3) sugesti, yang berbasis mengumbar janji.

Relasi budaya, menekankan pada kecenderungan para paslon terhadap dimensi interaksi sosial dan keragaman yang menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Cara pandang paslon yang memungkinkan diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan kebudayaan, baik realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang tetap dipertahankan hidup di masyarakat. Terkait dengan relasi budaya, Parekh (1997) membagi lima tipe relasi budaya, yaitu: 1) isolasionis, hidup secara otonom, 2) akomodatif, akomodasi kepentingan kelompok, 3) otonomis, adanya kesetaraan dan kolektivitas, 4) kritikal, interaktif yang distingtif, dan 5) kosmopolitan, toleransi kebebasan.

Bahasa Persuasif dan Relasi Budaya Paslon

Mengacu pada kajian penulis terhadap 127teks persuasif para paslon yang tersebar di 18 media cetak dan online, dalam tiga bulan terakhir (Nov 2016 – Jan 2017) dapat diketahui teknik bahasa persuasif dan tipe relasi budaya yang diperagakan para paslon selama kampanye, baik AHY-SM (Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, BTP-DSH (Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat), dan AB-SU (Anies Baswedan-Sandiaga Uno) secara keseluruhan, bukan per paslon. Terlepas dari hasil survei elektabilitas dari lembaga survei, kajian ini lebih menekankan pada teknik bahasa persuasif dan relasi budaya para paslon Gubernur DKI Jakarta.

Dari aspek teknik bahasa persuasif, seluruh paslon Gubernur DKI Jakarta pada dasarnyamemilikikecenderungan dan lebih dominan bersifat sugesti 46%, sedangkan yang bersifat rasionalisasi 27%, dan bersifat identifikasi 27%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa teknik bahasa persuasif seluruh paslon dalam membujuk pemilih lebih menekankan mengumbar janji dan harapan tanpa dasar kepercayaan yang logis. Seluruh paslon lebih banyak memberi janji-janji apabila menjadi Gubernur. Di sisi lain, bahasa persuasif yang bersifat rasionalisasi sebagai cerminan logika kebenaran dan yang bersifat identifikasi sebagai wujud promosi diri tidak dominan.

Dari tipe relasi budaya, seluruh paslon Gubernur DKI Jakarta diketahui cenderung memiliki relasi budaya yang dominan bertipe kritikal 38%, sedangkan tipe akomodatif 24%, tipe otonomis 18%, tipe isolasionis 13%, dan tipe kosmopolitan 7%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tipe relasi budaya seluruh paslon lebih mengacu pada kultur interaksi yang distingtif, atau bersifat membedakan. Budaya kritikal lebih menonjolkan keunggulan atau kelebihan paslon untuk meraih simpati pemilih. Patut dicermati, relasi budaya tipe akomodatif pun tergolong besar sebagai cerminan komitmen para paslon untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu. Sementara relasi budaya yang bertipe isolasionis (hidup secara otonom), tipe otonomis (adanya kesetaraan dan kolektif), dan tipe kosmopolitan (tolerasi kebebasan) tidak dominan melekat pada seluruh paslon Gubernur.

Jika kita percaya, bahasa dan budaya memiliki peran penting dalam komunikasi politik seharusnya pemilih mulai mempertimbangkan aspek di luar visi-misi dan pencitraan paslon. Karena disadari atau tidak, ujaran kebencian yang kini marak di media sosial dan merasuki masyarakat pemilih sebab awalnya terletak pada bahasa. Bahasa yang tidak berkenan, tutur kata yang mengundang reaksi dan emosi pemilih. Di saat itu pula, bahasa muncul menjadi cerminan budaya dan tatanan nilai setiap paslon.

Gubernur, entah mau disebut pemimpin atau pelayan, semestinya tidak melulu dilihat dari visi misi dan rekam jejak kompetensi untuk memajukan masyarakatnya. Tapi Gubernur DKI Jakarta ke depan, harus mampu membangun tradisi berbahasa yang efektif dan santun sebagai sinyal tumbuhnya budaya masyarakat yang lebih beradab, yang lebih menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persatuan. Bahasa persuasif dan relasi budaya yang dimiliki setiap paslon Gubernur DKI Jakarta dalam gelaran Pilkada nanti, sungguh menjadi indikator yang harus mulai diperhitungkan.

Terlepas dari hasil Pilkada DKI Jakarta nanti, seluruh paslon baik AHY – SM, BTP – DSH, maupun AB – SU sudah saatnya menempatkan bahasa persuasif sebagai komponen penting dalam berpolitik dan berpemerintahan. Karut-marut ekspresi bahasa yang penuh hujatan, kebencian, dan caci-maki di era kampanye harus dikembalikan ke fungsi utamanya, sebagai alat komunikasi yang efektif dan santun. Bahasa persuasif sangat mempersoalkan hal-hal seperti; siapa berbicara apa, siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa berbicara, kapan waktu berbicara, di mana berbicara, dan siapa harus berbicara masalah apa? Sungguh, jangan ada lagi bahasa hujatan, bahasa kebencian.

Kemarin, berapa banyak hubungan sosial yang rusak karena bahasa. Berapa banyak nilai-nilai budaya yang terpinggirkan karena kata-kata kotor yang disampaikan ke ruang publik. Maka esok, pasangan calon Gubernur DKI Jakarta terpilih, siapapun mereka harus mengemban amanah menjadi teladan dalam berbahasa yang santun hingga mengakar ke dalam tatanan nilai budaya masyarakat Jakarta. Hari ini dan esok, masyarakat Jakarta pasti mendambakan cara-cara berbahasa persuasif yang lebih santun, yang lebih menenangkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline