"Singkong itu lambang kesederhanaan, nrimo ing pandum. Kalo bahasa agamanya qona’ah, apa adanya" batin Si Kuple sore ini. Orang yang doyan nakan singkong, harusnya jauh dari sikap konsumerisme. Mboten gelem gagah-gagahan. Singkong (manihot utilissima) itu tanamannya kaum alit. Mudah tumbuh di mana saja, semua bagian pohonnya pun berguna. Bahkan bisa jadi panganan kaum miskin. Sifatnya alami, tanpa rekayasa. Manusia, siapapun, sangat boleh belajar pada singkong. Gak perlu gengsi cuma karena sepiring singkong. Kalo sekarang banyak orang yang sombong, maunya menyalahkan orang lain. Merasa benar sendiri, nyinyir tiada akhir. Bisa jadi, dia sudah lama gak makan singkong. Lho kok bisa, ngapain makan singkong?Lupa ya, kalo singkong itu ajaran tentang kesederhanaan. Singkong itu bisa eksis di mana saja. Tapi tetap rendah hati, tetap tak mau menampakkan buahnya. Singkong tetap tumbuh di kala panas atau hujan. Tetap tegar dan menebar manfaat. Singkong, sungguh mengajarkan hidup yang lebih acceptable di segala ruang dan waktu. Tanpa gengsi, tanpa frustasi. Bahkan tanpa caci maki. Singkong, kata Si Kuple, menjadi bukti hidup yang harus tetap alami, apa adanya. Tanpa intrik, tanpa perlu merasa lebih baik dari orang lain. Karena singkong, mampu menjadikan hidup lebih berarti. Salam singkong, ciamikk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H