Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Gawat Darurat Dunia Pendidikan?

Diperbarui: 1 Mei 2016   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14305150131166564436

Ketika ada rencana pesta bikini sebagai perayaan pasca UN siswa SMA tahun 2015 lalu, bisa jadi dunia pendidikan Indonesia dalam kondisi gawat darurat. Begitu kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. Gawat darurat artinya sakit yang tidak menentu. Bisa hidup, bisa mati. Ini sinyal dunia pendidikan kita dalam keadaan bahaya. Ada yang tidak beres.Makin banyak orang pintar, pendidikan makin dikebiri. Makin maju bangsa, pendidikan makin jadi polemik. Itulah potret dunia pendidikan Indonesia.

Banyak fakta membuktikan dunia pendidikan memang sedang sakit. Sebut saja, kondisi75% sekolah di Indonesia yang tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Indeks kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5 dari standar kompetensi guru sebesar 75. Belum lagi, rilis The Learning Curve yang menempatkan Indonesia pada peringkat 40 dari 40 negara berkaitan dengan kualitas pendidikan. Di pendidikan tinggi, Indonesia berada di peringkat 49 dari 50 negara yang diteliti. Wajar, dunia pendidikan Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara menurut Programme for International Study Assessment (PISA) pada tahun 2012 lalu.


[caption id="attachment_414256" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Pribadi - Gawat Darurat Dunia Pendidikan"][/caption]

Memang, segudang persoalan sedang menghantui dunia pendidikan. Mentalitas siswa cenderung merosot. Belum dinyatakan lulus, belum masuk perguruan tinggi sudah rencana menggelar pesta bikini. Belum lagi, soal konten pornografi yang “kecolongan” masuk di buku pelajaran. Hingga masalah, Kurikulum 2013 yang “terpaksa” dihentikan akibat menuai protes dari kalangan guru. Lalu, pendidikan kembali ke Kurikulum 2006. Dunia pendidikan di Indonesia makin karut-marut. Sementara itu, anggaran pendidikan tetap yang terbesar di APBN 2015, senilaiRp 408,5 triliun. Atau 20,59% dari total belanja negara. Angka yang fantastis di tengah gawat darurat dunia pendidikan kita.


Reformasi Pendidikan

Entah, bagaimana lagi cara untuk membenahi dunia pendidikan di Indonesia? Berharap adanya kualitas pendidikan di Indonesiasepertinya masih angan-angan. Terlalu banyak batu sandungan, membuat dunia pendidikan kita sulit maju. Cenderung stagnan. Mulai dari soal kurikulum, guru, kualitas pembelajaran, hingga korupsi di dunia pendidikan. Wajar, gawat darurat melanda dunia pendidikan.

Di Hari Pendidikan Nasional, setiap tanggal 2 Mei adalah momentum semua pihak untuk berpikir ulang tentang cara memajukan pendidikan Indonesia. Momentum untuk membenahi sistem pendidikan dan kualitas sumber daya manusia di bidang pendidikan. Melakukan introspeksi diri, mereformasi dunia pendidikan. Agar ke depan, dunia pendidikan tidak lagi gawat darurat. Agenda reformasi pendidikan menjadi mendesak untuk dilakukan. 

Pertama, revitalisasi sekolah sebagai sentra pendidikan yang mandiri. Sekolah seharusnya menjadi penentu arah pembelajaran yang berbasis proses dan rasa cinta. Sekolah bukan pelaksana kurikulum. Budaya belajar yang sungguh-sungguh dan bertanya harus menjadi tujuan utama sekolah dalam mendidik siswa.

Kedua,guru sebagai pemegang otoritas pembelajaran. Guru harus mampu mengendalikan konten dan arah pembelajaran, di samping kegiatan belajar yang menyenangkan. Sebagai fasilitator, guru harus memiliki kreativitas dan keberanian untukmenuntun siswa dalam menemukan pelajaran dan bidang yang disenanginya.

Ketiga, kesetaraan sebagai orientasi pendidikan, bukan kesempurnaan. Praktik dan perilaku belajar harus didorong kepada upaya membangun kerjasama, bukan kompetisi antarsiswa. Belajar bukan sarana untuk mencapai nilai tinggi, melainkan untuk membangkitkan kegairahan siswa dalam belajar.Kegiatan belajar bukan bergantung pada “kunci jawaban”, tetapi bertumpu pada “pengertian”.

Keempat, siswa berpegang pada proses dalam belajar, bukan hasil belajar. Sehingga kemampuan bertanya dan tidak takut salah harus ditanamkan pada diri siswa. Hanya dengan cara itu, siswa akan mampu mengeksplorasi potensi diri, di samping dapat memacu kreativitas dalam belajar.


Guru yang Kompeten

Memang berat untuk memperbaiki dunia pendidikan Indonesia. Tapi bukan tidak bisa dilakukan. Pemerintah bersama pelaksana pendidikan harus menyadari ada yang salah dalam tata kelola pendidikan selama ini. Untuk apa kita menjejali siswa dengan beragam materi pelajaran. Jika hanya untuk mengejar nilai semata dan melupakan proses. Maka wajar, saat ini siswa hanya “tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal”. Ironis.

Lantas, siapa yang harus mengambil peran besar dalam dunia pendidikan?

Jawabnya, guru. Guru adalah ruh proses pendidikan. Guru harus berani dan kreatif dalam mengajar. Harus tegas dalam membentuk siswa yang cerdas dan berkarakter. Siswa yang baik hanya lahir dari tangan guru yang baik. Oleh karena itu, guru harus keluar dari praktik-praktik mengajar yang tidak relevan. Menjauh dari cara mengajar yang monoton, yang tidak menggairahkan siswa. Kualitas guru menjadi penting untuk ditingkatkan. Tercapai atau tidaknya mutu pendidikan, senang atau tidanya siswa dalam belajar, hanya ada di tangan guru.

Guru harus mampu menjadi model bagi siswanya. Guru yang gemar membaca, menulis, dan memiliki sikap yang bergairah dalam mengajar. Bukan guru yangsibuk dengan urusan pangkat, gaji, dan pemberkasan sertifikasi. Guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. Kebijakan pendidikan boleh berubah, kurikulum juga boleh ganti. Tapi guru, tetap memegang kendali untuk menentukan arah pembelajaran.

Dunia pendidikan tidak lagi menjadi gawat darurat bila guru mampu memainkan peran dengan profesional. Guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik sesuai standar mutu kompetensi yang memadai. Guru yang kreatif, penuh inovasi, dan berani sehingga mampu “menghidupkan” suasana belajar. Guru yang tidak merasa tahu segalanya. Tapi guru yang mengerti kondisi siswanya. Sekali lagi, misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam arti yang sesungguhnya hanya terletak pada guru. Selamat tinggal gawat darurat pendidikan! #SelamatHardiknas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline