Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

TERVERIFIKASI

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Menggugat Jaminan Pensiun

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14294387041012220076

1 Juli 2015 nanti, Pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan berencana menjalankan program Jaminan Pensiun (JP). Banyak pelaku usaha, pekerja, dan masyarakat yang belum paham. Rencananya, Jaminan Pensiun (JP) akan mengolek iuran 8% (5% dari pemberi kerja dan 3% dari pekerja). Mau ke mana sebenarnya arah jaminan sosial di Indonesia?

Secara kebijakan Jaminan Pensiun (JP) seakan melenggang mulus. Tanpa penghalang.Inilah yang perlu dikritisi. Menggugat Jaminan Pensiun (JP). Karena kebijakan ini terkesan dipaksakan. Harus 1 Juli 2015. Tanpa mempertimbangkan realitas ekonomi pasca kenaikan BBM dan gas, serta dampaknya bagi iklim usaha di Indonesia. Lalu berdalih, untuk dan atas nama kesejahteraan pekerja.

Secara spirit, Jaminan Pensiun (JP) memang baik. Tapi tidak ada garansi kebijakan ini tepat? Boleh jadi, rencana JP adalah cara pandang yang salah tentang upaya menyejahterakan masa pensiun pekerja. Seolah-olah bangsa ini bisa baik dengan kebijakan dan aturan tentang Jaminan Pensiun (JP).

Kebijakan program Jaminan Pensiun bukan tidak bisa digugat. Karena JP akan membuat iklim usaha dan bisnis di berbagai sektor “tambah pusing”, termasuk pekerja. Mempertahankan bisnis dan usaha agar tetap eksis dan kompetitif saja sulit di masa sekarang. Apalagi ditambah kebijakan yang “niatnya baik’ tapi waktunya belum tepat. Rencana bagus 100% tapi cara dan waktunya tidak bagus. Pemerintah dan para pembuat kebijakan ini patut berpikir ulang. Tak perlu memaksakan pemberlakuan JP. Karena JP penting tapi tidak genting.

Mungkin argumen ini tidak objektif. Tapi patut dipertimbangkan. Sebagai gugatan terhadap rencana pemberlakuan Jaminan Pensiun, 1 Juli 2015 nanti. Beberapa gugatan terhadap Jaminan Pensiun, antara lain:

1.Jaminan Pensiun (JP) akan menambah beban pemberi kerja dan pekerja. JP bisa jadi hanya akal-akalan kita yang “gagal” dalam mengotimalkan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang sudah ada. Karena dari 63 juta pekerja di sektor formal, JHT diikuti tidak lebih dari 12 juta pekerja, sekitar 20% saja. JHT yang bersifat wajib, kepesertaannya belum optimal ke seluruh pekerja. Itulah isu yang genting. Agar semua pekerja, termasuk 140 juta pekerja nonformal mau ikut JHT. Bukan malah “ganti baju” jadi BPJS Ketenagakerjaan dan menambah program baru seperti Jaminan Pensiun (JP) yang nyata-nyata makin membebani dunia usaha.

2.Iuran Jaminan Pensiun (JP) yang rencananya 8% (5% dari pemberi kerja dan 3% dari pekerja) sangat memberatkan industri dan pemberi kerja. Bahkan mungkin membebani pekerja. Iuran JHT yang 5,7% saja tidak semua membayar, apalagi yang 8% nantinya. Iuran JP bisa membuat pemberi kerja “gulung tikar”. Hari ini, dunia usaha butuh kebijakan yang mendorong tumbuhnya industri atau bisnis, bukan malah “mematikan”. Apalagi ditambah embel-embel jika Jaminan Pensiun (JP) tidak diikuti, maka akan dikenakan sanksi penahanan atau denda. Sungguh, kebijakan JP tidak mendidik.

3.Rencana pemberlakuan Jaminan Pensiun (JP) memang penting tapi tidak genting. Untuk apa diberlakukan pada 1 Juli 2015, jika akan mematikan iklim usaha yang sudah ada. JP belum tepat waktunya diterapkan. Lebih baik fokus dalam pemberantasan korupsi dan pembangunan nyata untuk rakyat. Saat ini pun, pekerja masih fokus pada masalah pangan – sandang – papan agar taraf hidupnya bisa lebih baik. Bukan masalah hari tua, masalah pensiun.

[caption id="attachment_411178" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber; Pribadi - Menggugat Jaminan Pensiun"][/caption]

Sekali lagi, JP patut digugat. Terkesan membela kepentingan pekerja, padahal akan mematikan iklim usaha yang akhirnya menyulitkan hidup pekerja. Jaminan Pensiun (JP) penting tapi tidak genting. Optimalkan saja program JHT yang wajib agar lebih baik. Dan berikan kebebasan pemberi kerja untuk menyiapkan masa pensiun pekerjanya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemberi kerja. Dunia usaha justru menunggu kebijakan dan insentif yang mendukung agar bisnis berjalan lebih baik dari sekarang.



Jika JP dipaksakan, berapa banyak pemberi kerja yang makin kesulitan? Sudah membayar JHT, sudah menyiapkan Jaminan Kesehatan, sudah bayar iuran Program DPLK. Beban pemberi kerja sudah cukup banyak. Belum lagi pekerja yang sudah punya banyak urusan; sekolah anak, biaya transportasi, biaya rumah, dan sebagainya. Jika mau jujur, masih banyak pekerja kita yang terus berjuang untuk memperbaiki taraf hidupnya. Maka, tugas negara lebih baik menjaga iklim usaha dan iklim kerja yang sehat dan kondusif. Bukan menambah beban pemberi kerja atau pekerja.



Ketatnya kompetisi di tiap industri saja telah membuat pelaku usaha sulit untuk bertahan. Apalagi memperoleh profit. Pemberlakuan JP pada 1 Juli 2015 maka menambah cost pemberi kerja. Bisnis pun akan berjalan ke titik nadir. JP juga diduga akan menjadi “kanibal” bagi industri dana pensiun (DPLK dan DPPK), yang selama ini sudah bekerja keras dan ikut aktif membangun kesadaran akan pentingnya masa pensiun. Sesuai dengan UU No 11/1992 tentang Dana Pensiun, industri dana pensiun pun memiliki “hak hidup” yang patut menjadi pertimbangan.

Urusan Jaminan Pensiun (JP) hari ini tidak genting. Situasi iklim usaha dan iklim kerja belum mendukung. Maka sebaiknya, optimalkan saja program Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Masih ada 40 juta pekerja formal yang belum ikut dan belum membayar JHT. Selebihnya, urusan jaminan pensiun biarkan mengikuti mekanisme pasar. Pemerintah cukup menghimbau dan mengedukasi pemberi kerja, pekerja dan masyarakat agar sadar akan masa pensiun atau hari tua.



Lagipula, apa bedanya JHT (Jaminan Hari Tua) dan Jaminan Pensiun (JP)? Toh, keduanya untuk masa pensiun, masa tua saat tidak bekerja lagi. Mengapa harus ada 2 kebijakan yang berbeda? Cukup 1 kebijakan saja dan dikawal agar berjalan dengan baik. Entah tumpang-tindih atau tidak, tapi jauh lebih penting kita mengoptimalkan aturan yang sudah ada, bukan membuat aturan baru yang lebih memberatkan dan membingungkan.



Marilah dengan hati nurani dan akal sehat, kita optimalkan kesadaran pemberi kerja dan pekerja akan pentingnya masa pensiun dan hari tua yang lebih sejahtera dengan program yang sudah ada. JHT diperkuat, JP belum diperlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline