"Bu, Surti gak mudik? begitu tanya tetangga Surti.
"Ohhh maaf Bu. Saya gak mudik. Karena gak punya kampung. Bukan karena saya orang kota. Cuma kampung saya, ya di bumi yang saya pijak" jawab Surti dengan santai.
Puasa sudah memasuki sepertiga terakhir. Mulai banyak cerita tetangga Surti yang berniat pulang kampung. Mudik. Tradisi tahunan yang ada di negeri tercinta ini. Jelang lebaran, mereka bersiap mudik. Berduyun-duyun pulang dari perantauan ke kampungnya. Walau Surti belum bisa mengerti, kenapa bayak orang ingin mudik di saat lebaran? Untuk apa sebenarnya mudik, batin Surti bertanya.
Seperti biasa, pagi ini Tono suaminya tetap berada di sampingnya. Menikmati hari-hari puasa di rumah. Sambil santai dan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Surti dan Tono, hanya sepasang suami istri yang lebih senang di rumah. Mungkin, seperti orang kebanyakan.
“Mas, gak terasa udah mau dekat lebaran aja ya. Tapi kenapa banyak orang ingin mudik di waktu lebaran ya?” tanya Surti.
“Ohh iya Bu. Memang tradisi di negeri kita, mudik di waktu lebaran. Mudik itu artinya pulang kampung. Sebuah tradisi yang melekat pada masyarakat kita. Mungkin, karena mereka sudah lama berada di perantauan. Sehingga ingin kembali ke kampung halamannya. Karena di rantau, ada yang “hilang” dalam dirinya. Dengan mudik, mereka dapat menemukan kembali energinya” jawab Tono pelan.
“Tapi, kalo mudik di lebaran kan macet. Melelahkan pula. Apalgi orang yang mudik setiap tahunnya sampe jutaan orang” tanya Surti lagi.
“Itukah hebatnya mudik, Bu. Gak bisa diungkap lewat kata-kata. Terlalu sakral. Mereka bersemangat untuk “pulang” ke pangkuan ibu pertiwi. Untuk merayakan Lebaran di kampung halaman dan silaturahim setahun sekali bersama sanak keluarga. Sangat manusiawi, karena secara kodrati kita memang rindu kampung halaman dan pasti akan “pulang”. Maka jutaan orang masih menjaga tradisi mudik di saat lebaran. Tidak masalah berdesak-desakan di kereta, berjubel di bis, bermacet ria di jalan, hingga menempuh ratusan kilometer hanya berbekal sepeda motor” terang Tono.
“Lalu, apa pentingnya mudik buat mereka, Mas?” tanya Surti.
“Sangat penting, Bu. Kita bekerja sehari-hari di kantor juga butuh pulang. Kemana pun kita pergi dan berjalan, pasti ingin “pulang”. Pulang ke tempat yang membahagiakan kita, pulang ke orang tua, pulang ke kampung halaman, pulang ke rumah. Jadi, mudik bisa menjadi ritual kita untuk selalu ingat “pulang”, Pulang ke tempat awal kita, termasuk ke hadirat Allah nanti. Mudik adalah proses untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai kampung halaman kita harus punya keikhlasan dan kesabaran. Itulah hikmah mudik lebaran bagi banyak orang” papar Tono.
“Tapi sampai segitunya orang banyak kepengen mudik ya Mas?” Surti masih penasaran.
“Iya Bu. Karena mudik itu simbol dari mana manusia berasal. Dari kampung halamannya sebelum berjalan di perantauan. Saat ini makin banyak orang yang tidak tahu dari mana ia berasal dan mau ke mana nantinya. Mudik, setidaknya megingatkan kita bahwa dulu kita “tiada”, sekarang “ada” dan esok kita akan kembali menjadi “tiada”. Kita berasal dari Allah SWT dan kita pun akan kembali kepada Allah. Itu pelajaran terpenting dari mudik” ujar Tono penuh bijak.
“Terus, kalau kita sudah sampai di tempat dari mana kita berasal, kita mau apa ?” tanya Surti lagi.
“Sederhana saja Bu. Mudik itu pulang kampung. Untuk mengenali siapa sebenarnya kita, dari mana kita berasal. Mudik lebaran adalah momentum untuk mencapai kesucian lahir dan batin. Tazkiyatun nafs, membersihkan jiwa yang pernah dikotori oleh diri kita sendiri. Di tempat mudik, kita melapangkkan hati untuk menemui orang-orang yang berjasa ada kita. Lalu berani meminta maaf dan memaafkan kesalahan orang lain. Mudik itu mengajarkan kita untuk jujur mengakui kesalahan, lalu saling memaafkan. Walau ada sedikit orang yang mudik, hanya untuk memamerkan kekayaan. Atau biar dibilang berhasil di perantauan” sergah Tono lagi.