Polarisasi politik aliran di negeri ini nampaknya tak ada ujungnya. Di sisi lain, upaya memajukan negeri ini terus dilakukan. Untuk itu, ada banyak faktor yang diperlukan. Antara lain, hadirnya sang mesias, juru selamat.
Tadinya, politisi "ndeso" Joko Widodo masuk kategori itu. Oleh almarhum KH Hasyim Muzadi, Jokowi masuk kategori figur yang "dikirim" Tuhan buat menyelamatkan negeri. Berbulan-bulan Kyai Hasyim sempat mengirim intelnya dari NU, untuk menyelidiki siapa anak tukang kayu dari Solo itu. Waktu itu, Jokowi dikategorikan kiriman Tuhan. Karena, dari figur yang bukan siapa-siapa, tak ada juriat keturunan siapa-siapa, ujug-ujug bisa menjadi Walikota yang disukai rakyat. Belum selesai tugasnya sebagai walikota, bisa jadi gubernur. Itu sebabnya Kyai Hasyim full terlibat, dan alhamdulillah menang. Sayang usia beliau tidak panjang, Kyai Hasyim wafat. Ayoo ... kita sama-sama hadiahkan al-Fatihah ... Lahul Fatihan.
Sayang hari ini, Sang Mesias ini mulai mengecewakan banyak pihak. Pertama, dia tak terlalu berani melawan oligarki kekuasaan, entah pemodal, juga partai politik. Ini tercermin dari kabinet yang disusunnya. Nampak kuatnya pemodal, dan oligarki kekuasaan politik. Meski masih ada tawar menawar.
Kedua, Jokowi hanya suka membangun branding diri. Mungkin juga kelompoknya (?) Contoh, saat menghadapi kaum Islam militan, ia masih setengah hati. Jokowi nampak rada takut jika sampai dituding anti Islam. Maka itu tak heran, jika terhadap kelompok yang rajin bergerilya memprovokasi ummat mengajak gabung ke faham yang sesungguhnya berlawanan dengan Pancasila sebagai dasar negara, agak dibiarkan. Berbeda misalnya dengan kelompok, seperti Kerajaan-kerajaan baru di negeri ini, tak butuh waktu lama langsung diintrogasi
Jokowi juga terlalu ingin membangun histori diri. Dia bangun infrastruktur besar-besaran. Ia pindah ibukota negara. Ia angkat figur-figur fenomenal yang dianggapnya mampu mengangkat rezimnya. Ia purun mengabaikan NU, yang sudah mati-matian membelanya. Ia juga berani beda dengan partainya, PDI-P.
Saat pembentukan kabinet, Jokowi menyerahkan Menteri Pertahanan pada Prabowo, rival politik dari partai berbeda. Padahal pasal 8 ayat 3 UUD 1945, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan bisa menjadi pelaksana tugas kepresidenan, jika Presiden dan Wakil Presiden sedang tak dapat menjalankan tugasnya.
Jokowi sepertinya hanya berpikir kebesaran, dan historinya di masa depan. Dalam konteks ini muncul sejumlah pertanyaan, dengan banyaknya masalah yang dihadapi, mampukah Jokowi mengatasi persoalan berbangsa dan bernegara hari ini. Terlebih untuk mengatasi polarisasi politik? Nampaknya, banyak yang meragukan.
Langkah Nekad
Salah satu wadah untuk mengatasinya, adalah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, disingkat BPIP. Maka itu Jokowi putar otak, mencari figur pemimpinnya. Nama Prof. KH. Yudian Wahyudi, MA, PhD, orang Banjar yang besar di Kaltim dianggap orang yang tepat.
Dalam track recordnya, anak tentara zaman revolusi itu terkenal galak jika sudah berhadapan dengan kaum anti Pancasila. Maka itu ditunjuklah Rektor UIN Yogyakarta ini untuk memimpin BPIP, menggantikan Yudi Latif, yang terlalu kalem dan akademik. Sudah pasti pemilihan ini dengan pertimbangan yang matang. Apalagi saat menjadi Rektor, Prof Yudian pernah membuat kebijakan kontroversial, melarang mahasiswinya bercadar.
Berdasar dokument yang ada, Yudian tergolong anak cerdas. Karena suka tawuran saat di SLTP, ia dikirim ke Pesantren Termas. Ia kemudian meneruskan ke Krapyak dan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, juga di Filsafat UGM. Yudian sedikit dari orang yang mendapat kepercayaan negara studi di Amerika. Ia bisa menembus Harvard Law School, setelah sebelumnya menyelesaikan program doktor di McGill University, Kanada, universitas terkemuka di dunia.