Nampaknya inilah eranya babak akhir drama petualangan politik bersimbol agama. Kelompok yang selama ini lebih dikenal sebagai kelompok "radikal" oleh Jokowi digagas menjadi "manipulator agama".
Terlepas pro dan kontra akan istilah ini, sikap tegas rezim Jokowi jilid II ini patut diapresiasi. Jika berhasil, inilah sejarah nyata, sumbangan Jokowi dengan rezimnya, mampu membendung, bahkan mematikan kelompok sosial yang sejak tiga atau empat puluh tahun terakhir malang melintang melakukan "cuci otak" terhadap segelintir anak bangsa, yang melahirkan generasi bonek, gerakan siap "bunuh diri" demi perjuangan "jihad" yang diyakininya benar.
Jika ada kelompok-kelompok masyarakat yang meminta kaum "radikalis" atau "manipulator agama" ini bukan ditujukan bagi umat Islam, boleh-boleh saja. Tetapi nyatanya, sekian kasus beruntun yang terjadi dinegeri ini, aktornya rata-rata melibatkan "simbol-simbol" agama Islam. Pertanyaanya, apakah mereka muslim atau bukan, itulah yang harus kita telusuri sama-sama.
Jika kita lihat ke belakang, saat Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, persoalan krusial yang melanda negeri ini adalah soal perjuangan politik ideologis. Presiden pertama RI, YM Ir Soekarno, selain masih dihadapkan dengan adanya upaya kaum imperialis kolonialis Pasukan Sekutu yang ingin menguasai negeri ini, seperti Inggris dan Belanda. Berkat ketulusan anak bangsa, khususnya yang dipimpin kalangan pesantren, terlebih setelah keluarnya "resolusi jihad" oleh Kyai Hasyim Asy'ari 22 Oktober 1945, para santri berhasil membendung keinginan kaum imperialis kolonial itu kembali menguasai negeri ini.
Tetapi persoalan tak berhenti sampai di situ. Soekarno masih menghadapi tokoh pejuang muslim yang kecewa, yang berdampak munculnya "Darul Islam" (DI) dan "Negara Islam Indonesia" (NII) disejumlah daerah. Seperti adanya gerakan Kartosuwirjo di Jabar, Daud Beureureueh di Aceh, Kahar Mazakar (Sulawesi), dan Ibnu Hajar di Kalimantan. Dengan segala cara, kelompok-kelompok tersebut berhasil ditumpas, meski masih meninggalkan bibit yang belakangan muncul dengan format dan wajah berbeda.
Persoalan terberat bagi Soekarno adalah gerakan komunis melalui PKI. Klimaksnya, mereka melakukan "kudeta" yang berujung Soekarno ditumbangkan Soeharto. Setelah berkuasa, Soeharto berupaya membangun stigma buruk, bahwa PKI sebagai musuh bersama. Soeharto melakukan konsolidasi politik melalui sejumlah aturan, antaranya wajibnya azaz tunggal bagi semua orpol dan ormas, serta penyederhanaan partai politik dari 10 saat pemilu 1971 menjadi 3 mulai 1977. Karena dilakukan secara represif, maka langkah ini seperti efektif. Tak ada yang berani menengadahkan muka. Semua tiarap. Kampus pun ditekan sesempit mungkin. Sejak itu tak ada lagi gerakan politik yang dilakukan secara terbuka.
Tetapi apa dinanya, bersamaan dengan gerakan tiarap tersebut, maraklah gerakan clandestine di kampus, atau tempat-tempat lainnya. Mereka memang tak melakukan riak politik terbuka, tetapi mereka melakukan pengkaderan terselubung. Puncaknya, meledak saat reformasi Mei 1998. Kelompok yang tadinya di bawah tanah itu mulai muncul secara terbuka. Agendanya menginginkan kembali berlakunya "negara Islam" sesuai Piagam Djakarta, seperti termaktub dalam preambule UUD 1945, dan Pancasila yang mencantumkan 7 kata, pelaksanaan syariat Islam.
Tak hanya itu, ternyata ada lagi kelompok yang secara terbuka mengajak publik untuk menegakkan khilafah melalui partai politik bernama HTI, yang sudah dibubarkan. Bahkan, ada lagi kelompok yang lebih dahsyat, yang mudah menyalahkan kelompok lain, suka mengkafirkan, jika tidak ikut dengan mereka. Selain itu beragam bentuk dan kelompok bermunculan, baik dengan ideologi yang mereka kumandangkan, atau melalui penampilan uniformnya masing-masing, yang dulunya belum pernah nampak di nusantara ini. Kelompok-kelompok inilah yang oleh banyak pihak disebut sebagai kaum "radikal" yang oleh Jokowi mau diadakan tasmiyah ulang, menjadi "manipulator agama".
Ketidak-tegasan rezim sebelumnya, yang antara berani dan takut karena dianggap melanggar HAM, memungkinkan kelompok ini bisa membesar. Pejuang khilafah seperti HTI misalnya, tak kepalang tanggung bisa mengadakan event besar di GBK, Senayan.
Kemampuan kelompok ini melakukan pengkaderan, banyak anak-anak muda dan mahasiswa tertarik bergabung. Belakangan mereka bisa menjadi ASN, menjadi guru, dosen, pegawai BUMN, karyawan instansi pemerintah, dan bahkan ada pula yang bisa menjadi anggota TNI (yang kata Menteri Pertahanan Ryamizar Ryacudu mencapai 3 %). Entah di kalangan kepolisian ? Belum ada data resminya.