Lihat ke Halaman Asli

M Syarbani Haira

Berkarya untuk Bangsa

Negeri Ini Tak Akan Karam Tanpa Oposisi

Diperbarui: 25 Oktober 2019   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya AS. Kelompok Partai Republik yang beroposisi dengan Barack Obama 2014 lalu (foto : reuters)

Pasca reformasi negeri ini, logika normal belum berhasil melakukan konsolidasi. Para aktor politik di negeri ini rata-rata masih belajar. Allah Yarham Gus Dur, Kyai Abdurrahman Wahid, menuding politisi kala itu seperti anak TK. Meski itu sudah lebih dari dua dasawarsa tudingan tersebut dikemukakan, nyatanya hingga sekarang aromanya masih ada.

Lihat saja praktik politik kontemporer terakhir. Ketika Presiden Jokowi mempublikasikan kabinet baru, Kabinet Indonesia Membangun (KIM) Jilid II, dengan memasukkan rival utamanya saat pilpres, Jenderal (Purn) Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan RI. Maka dongeng oposisi kontan jadi trending topic. 

Bagi sebagian pengamat dan aktivis, negeri ini seolah-olah mau karam, hanya karena pimpinan Partai Gerindra itu sudah masuk koalisi pemerintahan. Artinya, oposisi bakal mati. Belakangan muncul gagasan, perlunya dunia kampus dan NGO melakukan konsolidasi, menjadi oposisi.

Masalahnya, apakah dalam politik itu harus selalu ada oposisi ? Apakah praktek oposisi itu mengekor gaya-gaya politisi negeri Paman Sam dengan liberalisasinya ? Ngomong seenak e udele ? Meremehkan, melecehkan. Bagaimana pula persfektif agama, khususnya Islam, karena mayoritas penduduk negeri ini muslim ?

Politik yang Damai

Bagi seorang pakar ilmu politik, Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Miriam Budiardjo, politik itu semata untuk mencapai sebuah tujuan. Tujuan dari sebuah negara yang merdeka, berdaulat, melakukan mofernisasi dan perubahan politik, demi terciptanya welfare state (negara sejahtera). 

Ini sejalan dengan kupasan Prof Thomas H Greene, yang mengutip pandangan filosof Yunani, Aristoteles, dimana dalam sejarah politik itu yang urgent menciptakan "suatu negara yang paling stabil"

Maka itu negara harus memberikan fasilitas pembangunan, memenuhi kebutuhan rakyat, secara rasional dan berkeseimbangan. Potensi dan kekayaan negara, semaksimal mungkin diupayakan untuk kesejahteraan rakyatnya.

Dalam persfektif Islam klasik, politik itu menanamkan semangat perdamaian. Maka itu para pemikir dan filosof Islam klasik berpendapat urgensinya ketaatan warga negara pada raja, semata untuk menciptakan stabilitas negara. Tentu selama raja itu masih dalam koridor kebaikan, walau berbeda cara.

Ayat al-Qur'an surah An-Nisa ayat 59, dan Al-An'am ayat 165 kerapkali dijadikan rujukan untuk selalu taat pada pemimpin. Karena seorang pemimpin itu hadir, memang dikehendaki oleh Allah SWT.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline