Lihat ke Halaman Asli

M Syarbani Haira

Berkarya untuk Bangsa

Kopi "Ndeso" Menjadi Sang Pemersatu

Diperbarui: 8 Oktober 2019   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warung Rakyat di Gambut Baharat, Kopi Hitam, Kopi Susu, dan Wadai Banua Khas Banjar (foto : SH)

Ngopi ala ndeso di pedalaman Kalimantan

Pada tahun 1970-an, saat menjalani studi jenjang dasar dan menengah (SD dan SLTP), saya kerap diajak orang tua dan keluarga besar saya untuk bersilaturahim secara rutin. Tradisi ini tak hanya disaat idul fitri, melainkan bisa tiap minggu, tiap bulan, minimal pertiga bulan, dan paling lama perenam bulan. 

Tradisi itu terus terjaga dengan baik, walau dengan fasilitas angkutan yang minim. Kadang jalan kaki, sepeda ontel, jukung atau perahu kecil. Jika jaraknya jauh, kala itu ada Mobil Power atau Jeep Wilis (angkutan darat sisa zaman perang), atau kadang naik kapal. 

Tradisi ini tidak saja untuk keluarga dekat dan jauh, melainkan juga pada kenalan, tetangga dan handai tulan lainnya. Dengan model itu, tak aneh jika sebuah keluarga besar sangat terpelihara. Satu sama lain saling kenal, karib, baik antar keluarga, atau tetangganya. 

Meski begitu, ada juga konflik keluarga. Kadang masalahnya tak begitu signifikan. Misal, hanya rebutan siapa yang paling berhak mengambil buah milik nenek moyang, seperti Kelapa (muda dan tua), Langsat, Kasturi, Asam Palipisan, Rambutan, Kuwini, Ramania, Manggis, Limau Kuit, atau cuma buah Rambai, makanan Bakantan yang rasanya kecut minta ampun itu.

Selain itu, ada juga konflik besar antar keluarga. Umumnya ini terkait rebutan harta waris. Kasus ini kadang bisa membawa korban, mereka bisa bunuh-bunuhan. 

Anehnya, jika ada seseorang hanya sekadar memakai lahan melewati batas untuk usaha atau tempat tinggal, dianggap biasa saja. Tak ada keributan. Mungkin pada era itu, arealnya masih luas. Lahan masih kosong. Penduduk masih sedikit. 

Dalam keluarga besar saya pernah terjadi konflik karena masalah politik. Ayah saya yang kini sepuh berusia 89 tahun, pernah berkonflik dengan adik kakek saya, seorang pensiunan TNI. 

Saat Pemilu 1977, ayah saya yang aktiv di NU, pendukung setia PPP. Sebagai purnawirawan, adik kakek saya tentu saja Golkar cekik. Konsekwensinya, ayah saya harus minggat meninggalkan kampung halaman, hijrah ke kota.

Tetapi secara umum, keseharian kampung relative damai antar warga. Walau cuma pakai lampu teplok, jika ada event besar, warga biasanya menggunakan lampu setrongking

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline