Hari Minggu yang lalu, media sosial nusantara kembali dihebohkan oleh adanya kejadian seorang perempuan yang nekat menerobos petugas bandara, mengejar sebuah pesawat yang segera tinggal landas dari Bali menuju Jakarta.
Dalam kejadian tersebut, sempat terjadi adu kuat antara mpok-mpok, calon penumpang maskapai tersebut, dengan petugas yang mencoba menghalanginya. Diwarnai rasa kesal, mpok-mpok tersebut akhirnya batal mengejar maskapai tersebut, untuk selanjutnya diberangkatkan dalam penerbangan berikutnya.
Versi petugas maskapai, penumpang tersebut sudah check in pagi hari, sekitar jam 06.27 WIB. Ia harus terbang mulai jam 06.50 WIB. Tetapi setelah dipanggil sampai tiga kali, bahkan final call, penumpang yang kebetulan sudah mpok-mpok tersebut tak juga muncul. Sesuai prosedur, maka maskapai pun mulai menuju proses taxiway.
Saat itulah penumpang tadi nekat menerobos pintu ruang tunggu. Versinya pun ada macam-macam. Mulai dari tak kedengaran panggilan, sampai adanya perpindahan gate keluar tunggu menuju maskapai.
Mana yang benar, tentu perlu checking yang berimbang. Bukan cuma versi petugas maskapai saja, melainkan juga pihak terkait dan saksi-saksi lainnya. Rasanya mustahil mereka (petugas maskapai) berani terbuka menyalahkan pihak mereka sendiri.
Kasus Mpok-mpok yang nekad dan berani menerobos pintu keluar ruang tunggu bandara, dan langsung mengejar maskapai yang akan ia tumpangi tersebut tentu ia merasa tidak bersalah. Barangkali ia merasa "haknya" yang mungkin sudah terabaikan.
***
Dalam hal relasi maskapai dengan penumpang, konsumen seringkali dirugikan. Pengalaman saya pribadi, menunjukkan fenomena tersebut. Sebagai konsumen (penerbangan), saya berkali-kali pernah mengalami kerugian secara sepihak oleh aturan maskapai.
Misalnya di akhir tahun 1980-an, saya pernah harus nginap kembali di Mataram. Harusnya, saya terbang dari Bandara Salaparang (kala itu), menuju Juanda Surabaya.
Padahal kala itu, pesawat yang akan saya tumpangi masih belum bergerak, tetapi kata petugas sudah tidak bisa lagi. Akibatnya, saya harus kembali ke hotel. Namun maskapai milik pemerintah ini membolehkan tiket tersebut untuk digunakan kembali besok pagi.
Keadaan ini jauh beda dengan ketentuan pasca reformasi, setelah tahun 2000-an. Saya berkali-kali mem"buang" tiket yang harganya kadang sampai jutaan rupiah tersebut. Hal ini karena (pertama), urusan refund butuh waktu yang lumayan lama, bisa sampai 6 bulan. Kedua, nilainya pun kadang sudah tak memadai lagi. Akhirnya aku biarkan saja tidak diurus.
Ditinjau dari ketentuan yang ada, sesungguhnya aku tak bisa dipersalahkan full. Kenapa ? Misalnya, dalam sebuah perjalanan bulan Desember 2016, dari Juanda Surabaya ke Adi Sutjipto, Yogyakarta. Kala itu bersama seorang rekan sambil minum di sebuah restorant yang ada di muka pintu ruang tunggu. Ternyata pengeras suara yang tersedia cuma di dalam ruang tunggu, sedang di depannya tidak ada. Merasa kelamaan tidak di panggil-panggil, aku pun tanya petugas, yang dijawab ketus, barusan berangkat.
Kejadian di Jakarta lebih tragis lagi. Entah kenapa pihak maskapai kerap tak konsisten antara pintu masuk yang tertulis di kertas boarding dengan praktik yang sesungguhnya. Ini terjadi berkali-kali. Bahkan hari ini, Senin, 19 Nopember 2018, kembali saya alami dalam perjalanan Jakarta ke Banjarmasin. Pada kertas boarding gatenya tertulis 5A, nyatanya dipindah ke 3A. Jika saja aku tidak bertanya, maka dapat dipastikan akan ketinggalan pesawat lagi.