Lihat ke Halaman Asli

Syarafina Ilma

Seorang Mahasiswa Universitas Airlangga

Menyelisik Perwujudan Kemandirian Belajar Milenial

Diperbarui: 2 Januari 2022   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Belajar di era digital tentu menghadirkan tantangan tersendiri yang unik bagi para pembelajar milenial. Sementara salah satu aspek pengajaran akademik harus dikuasai,  digitalisasi tampaknya menjadi "nafas" kedua setelah ruh kehidupan. Gambaran sebenarnya dapat dilihat pada aktivitas bangun tidur yang lebih utama dicari dan dijangkau adalah perangkat digital (telepon genggam) untuk mencari berbagai informasi terbaru atau sekadar hiburan belaka. Hal tersebut menyebabkan bukan buku yang dibuka, melainkan budaya intro texting atau membuka pesan yang sudah lama dikeluhkan banyak orang, termasuk orang tua.

Di satu sisi, kehadiran teknologi dan informasi yang jauh masuk membuka akses informasi bahkan merambah hingga ke ranah pribadi. Di sisi lain, informasi pribadi itu dapat diakses oleh orang-orang dari jauh. Oleh karena itu, "simalakama" digital ini memang patut menjadi perhatian  para milenial. Pasalnya, sudah mulai ada indikasi atau tanda-tanda semangat belajar mereka yang berkurang. Jika demikian itu masalahnya, baiknya menemukan cara  terbaik untuk menjaga pembelajaran siswa tetap konsisten dan koheren patut menjadi refleksi bersama.

Hal ini bisa memulainya dari keluarga. Sebagai komponen fundamental pendidikan, keluarga membutuhkan refleksi. Sudah seberapa intens komunitas belajar di tingkat keluarga? Atau bahkan tidak ada sama sekali? Keberadaan pertanyaan ini tidak sia-sia diajukan tanpa objek. Namun lebih dari itu, ingin memotivasi  keluarga untuk melakukan dan terlibat dalam demonstrasi perilaku belajar di tingkat keluarga hingga akhirnya anak dapat melakukan kegiatan yang serupa secara mandiri.

Untuk dapat melatih kemandirian belajar anak, pertama-tama perlu mengenali kebiasaan belajar anggota keluarga yang harus diwujudkan terlebih dahulu. Artinya ayah, ibu, dan seluruh anggota keluarga  melakukan kegiatan belajar secara bersama. Seperti yang dikemukakan Mulyasa (2014:9), menciptakan lingkungan belajar sangat penting bagi suatu kebiasaan untuk menjadi karakter. Persoalannya adalah memenuhi tuntutan dunia kerja untuk menghabiskan waktu belajar bersama seolah-olah peran orang tua dalam menciptakan lingkungan belajar internal dirusak oleh kebutuhan dunia kerja.

Jalan tengah bagi penulis yaitu sudah sepatutnya meminta  keluarga yang mampu meluangkan waktunya untuk menciptakan ruang belajar untuk keluarga terlebih dahulu. Sedangkan bagi mereka yang masih bekerja, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah telecommuting, dimana anak-anak diminta untuk belajar terlebih dahulu secara komunikasi jarak jauh. Tujuannya adalah untuk menyampaikan pesan orang tua yang juga akan belajar bersama sepulang kerja. Pada dasarnya, program pembelajaran bersama perlu dibangun
dengan membuat jadwal belajar bersama dan kemudian mempostingnya di media sosial untuk memotivasi dan menjadikan belajar sebagai kebiasaan.

Agar anak termotivasi untuk belajar di tingkat sekolah,  para guru perlu memodifikasi cara belajarnya agar anak tidak bosan. Untuk melakukan hal ini, guru perlu menyiapkan bahan ajar dan mengembangkan bahan-bahan pendukung yang telah dipelajari. Ini berarti bahwa lingkungan belajar individual sebagai guru juga tercapai. Agar proses transfer pengetahuan menjadi menyenangkan dan tidak membosankan, tetapi dapat menginspirasi siswa secara cermat untuk menikmati kegiatan pembelajaran sampai mereka terstimulasi untuk belajar secara mandiri.

Jika gaya belajar guru tetap tidak berubah, penulis kurang yakin bahwa kemandirian belajar siswa  tidak akan pernah terwujud.

Di tingkat komunitas atau masyarakat, ruang untuk kegiatan belajar juga bisa diciptakan. Lalu siapa yang akan mempersiapkannya? Semua keluarga yang tergabung dalam masyarakat harus mendukung proses pembelajaran. Tujuannya adalah untuk menghindari kesenjangan dalam melanjutkan pendidikan dengan keluarga dan setelah sekolah. Hal ini dapat terjadi melalui  tempat peribadatan (masjid), majelis taklim, atau melalui pagelaran local wisdom yang dapat dijadikan sebagai wahana dan mediator pembelajaran berkelanjutan.

Akibatnya, pengenalan pembelajaran melalui berbagai kegiatan yang dilakukan justru membuka banyak pengetahuan yang unik dan kontekstual. Selain itu, jika kelompok usia menunjukkan kegiatan belajar dalam genre  yang berbeda, hal itu menyiratkan bahwa tanggung jawab untuk belajar harus dicurahkan untuk kehidupan. Dengan begitu, semangat kemandirian yang terus belajar akan terlahir kembali sebagai generasi penerus estafet kepemimpinan masa depan.

Pada akhirnya, tentu saja kita tidak ingin generasi mendatang dibutakan oleh pengetahuan karena kurangnya pelatihan. Oleh karena itu, pembentukan fitrah pembelajaran atau pembangunan karakter akademik harus didukung oleh seluruh komponen (rumah, sekolah, masyarakat) sebagai satu paket yang mutlak memerlukan pemulihan pembelajaran secara masif. Kita semua punya harapan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline