Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Bijak

Diperbarui: 27 November 2016   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrasi: Dokpri

Menjadi lebih bijak di pemahaman memang lebih sulit daripada sekedar mengetahui alur di permukaan, sebab butuh kecermatan menjadi pandai berenang di kedalaman. Lebih-lebih sifat dasar manusia yang cenderung memberi penilaian atas dasar segala yang tampak, tapi tidak berupaya keras bergulat memahami sisi dalam.

Padahal di balik yang tampak dan cenderung penuh tipuan, terdapat jati diri yang utuh penuh kesempurnaan. Mungkin kita harus lebih banyak belajar menjad faham, daripada menghabiskan banyak waktu berdiskusi di hampar terluar.

Waktu yang sudah dihabiskan tidak akan pernah bisa diulang, Ketika manusia tumbuh dewasa. sejatinya lebih banyak aspek dalam yang mengalami peningkatan terus-terusan, sebab aspek fisik tidak pernah bisa diandalkan, ia akan habis seiring jatah hidup yang diberikan.

Tumbuh kembang dan pesatnya  arus informasi yang disajikan di dunia maya, nampak sekali memperlihatkan kegalauan kita sebagai bangsa besar yang belum tumbuh menjadi sosok bangsa dewasa. Kekisruhan politik, kegaduhan antar etnis, tawuran statement antar elit penguasa disaksikan warga dunia dengan telanjang.  

Bangsa ini sudah berusia 71 tahun sejak menyatakan merdeka melalui lisan proklamator Dwi Tunggal Bung Karno - Bung Hatta, namun di usia fisik manusia yang sejatinya sudah dewasa, masih nampak perilaku elit politisi seperti balita yang merengek-rengek memperebutkan kue kekuasaan, saling mencaci, menebar benci di antara sesama warga bangsa. Barangkali kita harus melakukan refleksi panjang, sudahkah bangsa ini benar-benar merdeka seperti di 71 tahun usia dewasanya? 

Sejak 17 Agustus 1945, seluruh komponen bangsa ini sudah sepakat untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa, namun seiring perkembangan zaman, kesepakatan itu lambat laun kita nodai dengan merendahkan derajat sila demi sila dari Pancasila. 

Kita sudah sepakat bahwa bahwa kita adalah bangsa berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan keragaman agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang, masih ada saja pihak yang menafikan perbedaan agama.  Padahal mempermasalahkan aspek ini, secara tidak langsung kita sudah mennyamai kebesaran Tuhan sebagai maestro pencipta berbagai agama.  Di manakah letak keikhlasan kita sebagai manusia, jika perbedaan yang diciptakan Tuhan masih saja kita abaikan ?  Mari evaluasi diri apakah kita ikhlas berTuhan? yang melalui mahakarya ciptaan-Nya terlahir keberagaman?

Sungguh malu, jika pengakuan kita bahwa kita adalah bangsa besar yang menghormati perbedaan, menghargai keragaman dan memelihara benang-benang perbedaan dengan rajutan kebhinekaan, seketika menjadi bias dan runtuh seketika oleh rasa keangkuhan sebagai mayoritas.  Bukankah seekor ayam pun tidak pernah berunjuk rasa ketika telurnya disebut telur mata sapi, dan semua orang tahu kue Bika dari Medan disebut Bika Ambon, dan tak ada protes dari warga Ambon.

Sebagai salah satu dari empat pilar lainnya, kini Pancasila sedang diuji kembali, dan saya yakin Pancasila akan tetap sakti, betapa pun ujian kesaktian itu datang bertubi-tubi. Sampai kapan Pancasila akan terus diuji? Mungkin sampai kesaktiannya hilang dan tidak pernah lagi menjadi kebanggaan bangsa ini. 

Kerapkali saya merasa heran dengan bangsa sendiri terutama kawan-kawan dan saudara setanah air yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, namun masih meragukan kesaktiannya. Padahal Surat Al-Hujurat ayat 13 adalah gambaran keanekaragaman penduduk tetap persada Indonesia yang diharapkan dapat terus menerus secara berkelanjutan meningkatkan kualitasnya sebagai bangsa yang mau belajar terus-terusan mengelola perbedaan, mengelola konflik, dan kita sudah sepakat sejak 71 tahun yang lalu menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa, perekat kerukunan hingga kehidupan dunia ini berakhir.

Mungkin sebagian dari kita yang beragama Islam sudah menjadi pelupa, bahwa sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengejawantahan dari universalitas ketauhidan, sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai manifestasi dari kesalehan sosial yang dipenuhi dengan kesetaraan dan keadilan yang proporsional, sharing and connecting dalam tatanan koridor kemanusiaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline