Lihat ke Halaman Asli

Syanne

An educator, a wife, a mother to two

Membuang Sampah Sembarangan? Malu Dong Ah

Diperbarui: 14 September 2018   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Pribadi

Ketika saya kecil, saya sempat bertempat tinggal di Jakarta, di area yang hanya berjarak kurang lebih 10 menit (dengan berjalan kaki) dari Sungai Ciliwung. Seringkali pada sore hari, saya melihat banyak Pembantu Rumah Tangga yang datang ke pinggiran Sungai Ciliwung sambil bawa beberapa kantong plastik yang berisi sampah. Lalu, dengan santainya, mereka melempar kantong-kantong plastik yang mereka bawa ke atas sungai.

Sebagai anak kecil yang penuh rasa ingin tahu, saya sempat heran kenapa mereka masih harus membuang sampah ke atas sungai mengingat setiap pagi ada tukang sampah yang berkeliling di area tempat saya tinggal.

Keheranan yang sama saya alami ketika minggu lalu, saya mengantar anak saya latihan bulutangkis di suatu lapangan bulutangkis di Surabaya. Ada sekelompok anak muda yang menyewa lapangan bulutangkis.

Ketika mereka selesai bermain bulutangkis, mereka pergi begitu saja dengan meninggalkan banyak sampah botol plastik dan kok bulutangkis bekas pakai di pinggir lapangan. Padahal, tersedia tong sampah besar yang berjarak tidak lebih dari 2 meter dari tempat mereka berlatih.

Apa yang salah dengan para pembuang sampah ini? Mengapa mereka tidak mau "bersusah payah" sedikit untuk menunggu tukang sampah lewat atau membuang sampah di tong sampah terdekat?

Seorang peneliti dari Amerika Serikat, Prof. Robert Cialdini, melakukan penelitian tentang perilaku membuang sampah yang dilakukan oleh penduduk Amerika Serikat. Beliau mendapatkan bahwa individu cenderung membuang sampah sembarangan ketika ia melihat lingkungannya juga tidak bersih.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Malcolm Gladwell, dalam bukunya The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference, yaitu bahwa manusia cenderung berperilaku sesuai dengan ekspektasi lingkungannya.

Kembali ke cerita masa kecil saya, jika seorang pembantu melihat banyaknya tumpukan sampah di sungai, ia memiliki kemungkinan besar untuk ikut membuang sampah ke sungai karena ia meniru perilaku dari orang-orang lain yang membuang sampah ke sungai. Monkeys see, monkeys do.

Sementara, dalam cerita meninggalkan sampah di lapangan bulutangkis, pada saat itu lapangan terlihat bersih. Tidak terlihat ada botol-botol plastik berserakan di pinggir lapangan. Lalu, mengapa anak-anak muda tersebut seenaknya saja meninggalkan sampah tanpa merasa bersalah? Pertanyaan yang sama untuk para pengemudi mobil yang seenaknya saja melemparkan sampah ke jalan, padahal jalanan kota Surabaya cukup bersih dan ada aturan yang melarang membuang sampah sembarangan di jalan?

Penjelasan lain terhadap perilaku membuang sampah sembarangan adalah pelaku dibesarkan dalam kondisi terbiasa dimanjakan. Pada tahun 1984, Bruce McIntosh memperkenalkan suatu sindrom yang disebut dengan sindrom anak manja. Individu yang menderita sindrom ini digambarkan cenderung kurang memikirkan orang lain, gampang ngambek, harus mendapatkan yang ia inginkan segera, atau menuntut banyak hal terjadi sesuai dengan caranya.

Individu-individu yang terbiasa meninggalkan sampah tanpa memiliki kesadaran untuk membuangnya di tempat sampah mungkin memang tidak pernah dibiasakan untuk membuang sampahnya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline