Ingin kugali gunungan tanah, dan kucabut
Kayu nisan penuh duka itu berharap
Kau bangun dari tidur panjangmu.
Namun, kenyaataan justru membangunkanku
Aku memungut retakan-retakan jantungmu,
Merangkainya, lalu kuambisikan agar dapat berdetak.
Sebuah kesia-siaan yang dilakukan seorang anak kecil.
Hari-hari bernuansa biru, mencipta jaring-jaring pikiran.
Aku bertanya pada ibu, "Mengapa ayah pulang lebih dulu?"
Ayah tidak sempat mengajarkanku mengikat tali sepatu,
Mengantarkanku ke sekolah dihari pertamaku,
Dan, menggendongku pada pundaknya sambil melihat atraksi gajah.
"Tuhan lebih sayang" Ibu menjawab dan semesta pun mengaminkan.
Ayah, aku mengenalmu dari cerita ibu dan album berlapis debu.
Aku memiliki sepasang mata yang serupa dengan milikmu.
Retakan-retakan jantungmu kini berdetak dalam bilik dadaku.
Ayah, tolong jangan marah, sebab ibu banyak menggantikan peranmu.
Perjuangan ibu tak pernah sederhana, Ibu berjuang selepas pergimu.
Kematianmu kini telah menjadi sebuah fakta, Kesedihanku bukan lagi sekadar luka, atau
berupa sajak-sajak penuh air mata, pilu ini menjadi peluru yang melesat menembus batas-batas rasional.
Ayah, meski kau mati secara ragawi, namun, kau tetap hidup dalam sanubari.
Ayah, bila kita bisa, aku mau temu.
Ayah, Aku amat rindu.
Ayah, Mungkinkah kelak kita dapat berkumpul di surga dengan penuh rasa bahagia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H