Disatu sisi kita berteriak untuk membela agama atau membela Tuhan. Namun, di sisi yang lain kita terjebak pada suatu aktivitas liar yang menyudutkan, mengalienasi, dan menelantarkan manusia.
Pembelaan macam apa yang demikian? Sejak kapan antara agama, Tuhan, dan manusia dipisahkan sebagai dasar dan pijakan dalam menilai keabsahan keimanan? Apakah kita tidak mengetahui bahwa pengejawantahan keimanan dapat diukur melalui tiga rentetan yang tidak boleh putus.
Tuhan adalah pencipta, agama sebagai instrumen, sementara manusia adalah tujuan agama itu diturunkan. Kita mesti membangun fondasi keimanan serta mengukur validitasnya di atas tiga struktur fundamental tersebut.
Apabila, keimanan mengalami ketimpangan dan seolah tidak nyambung (tumpang tindih) antara idealitas dan realitas, maka keimanan kita terjebak pada simpul narsisme. Teriakan mencintai dan memperjuangkan Agama dan Tuhan adalah teriakan yang pincang, tanpa disertai keinginan untuk melindungi hak-hak manusia.
Kita perlu menarik keimanan bukan pada tataran doktrin yang statis, tetapi harus berkembang menuju wacana dan aksi yang konkrit, demikian kata Hassan Hanafi. Jika substansi keimanan kita berhenti pada narasi-narasi dogmatis, maka dapat dibenarkan perkataan kelompok materialis-empiris (marxian) bahwa agama tidak memiliki tawaran yang berarti untuk kehidupan manusia.
Kontribusi (ke)iman(an) sangat penting untuk menggerakkan akar-akar komunitas dalam rangka memajukan peradaban manusia. Terlepas dari apa dan bagaimana bentuk keimanannya; Islam, Yahudi, Kristen, Khatolik, Budha, Hindu, Konghucu, Zoroaster, dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok ini diperlukan untuk bergerak secara massif, sebab potensi mereka sangat besar. Mereka tidak boleh membicarakan keimanan mereka terlalu kaku dan monoton pada soal Tuhan dan agamanya masing-masing, sebab mereka akan terbiasa membangun gap atau jarak di antara mereka. Tetapi, coba tarik keluar untuk mengejawantahkan keimanan pada ranah kemanusiaan yang semua pihak bisa sepakat dengan itu.
Menarik apa yang ditulis oleh Aksin Wijaya, dalam bukunya "Dari Membela Tuhan, ke Membela Manusia", bahwa cara membela Tuhan yang paling konkrit adalah membela manusia. Demikian juga menurut Eko Prasetyo, bahwa agama dan Nabinya adalah untuk membela manusia atau kelompok-kelompok yang lemah dan tertindas.
Dalam Islam sendiri kualitas keimanan dapat diukur sejauh mana keimanan itu berdampak meluas kepada manusia lain. Banyak hadis yang mengindikasikan demikian. Misalnya, "tidak dikatakan berkualitas keimanan seseorang, jika mereka tidak mencintai saudaranya sendiri sebagaimana mereka mencintai dirinya sendiri". Demikian juga ada hadis yang mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan Tuhan sangat dekat. Misalnya, "barangsiapa yang mencintai mahluk (manusia dan alam) yang di bumi, maka yang di langit akan mencintainya". Dan, masih banyak lagi hadis dan ayat Al-Qur'an yang menekankan bahwa hablum minallah dan hablum minannas harus berjalan seirama.
Formulasi ini, memang sudah banyak yang membicarakannya. Bahkan, dikalangan para pengkaji Islam, konsep ini adalah konsep "receh dan terlalu ringan" untuk didakwahkan. Akan tetapi, yang sangat kita sesalkan bahwa pemahaman sebagaian di antara kita masih memisahkan persoalan Tuhan dengan manusia dalam wacana keagamaannya. Kita terlalu sering menggunakan narasi-narasi atas nama agama dan Tuhan untuk menghukumi manusia dan mendakwahkan kebencian terhadap suatu kelompok tertentu yang notabene kita tidak sukai.
Agama seringkali menjadi "kambing hitam" atas kebrutalan kita dan setting agenda politik kita. Wacana keimanan kita adalah mengunggulkan diri dan meraih para pengikut setia demi meraih predikat mayoritas. Memang harus diakui, bahwa akhir-akhir ini agama dan label kemurnian iman sudah menjadi komoditas untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompok. Kadang narasi agama dijadikan sebagai instrumen untuk memenangkan kompetisi terbuka dalam mengambil simpati.
Kompetisi terbuka ini tidak mungkin dihindari dan tidak dapat dielakkan. Sejarah sudah membuktikan bahwa agama dan konsepsi keimanan kerapkali menjadi konstruksi perseteruan panjang sampai hari ini. Bahkan, motif perseteruannya seringkali melibatkan politik sebagai kekuatan penyangga. Bahayanya, setiap persoalan keimanan yang menunggangi politik pasti akan banyak menelan korban. Pengusiran, pembakaran karya, dan bahkan pembunuhan menjadi trend dalam perjalanan perseteruan atas nama "keimanan" tersebut. Wallahu a'lam bishshowab.