Istilah Ikut-isme diungkapkan Ali Mukti ketika memberikan pengantar terhadap buku O. Sholohin yang berjudul "Jangan Jadi Bebek". Buku tersebut memang memaparkan perilaku ABG atau kaum Millenial (populernya masa kini) yang cenderung cepat terpengaruh terhadap suatu budaya atau trend tertentu, tanpa bisa membedakan baik dan benarnya trend tersebut. Hal tersebut didorong keingintahuan mereka dan cultur ikut-ikutan mereka terhadap sesuatu yang baru tanpa memiliki suatu pertimbangan serta analisis yang tajam.
Saya melihat demikianlah wajah politik kita hari ini. Budaya ikut-ikutan merajalela, tanpa mampu memahami suatu masalah dengan baik. Sesatnya lagi, kita terlalu prematur dalam menyimpulkan masalah tersebut.
Gambaran yang disimplifikasi secara keliru ini menyebabkan kita mudah membully, mengumpat, mencurigai, bahkan memvonis orang lain. Seolah kita melihatnya dengan utuh dan menganalisisnya dengan tajam dan cermat. Lebih sesatnya lagi, kita menganggap bahwa analisis yang dangkal tersebut absolut.
Monopoli pendapat seperti ini sangat tragis, kita tidak membuka ruang untuk pendapat lain bermunculan. Kita menjadi "Tuhan" atas diri kita sendiri dan menganggap orang lain adalah "Ifrit" karena berbeda pandangannya dengan kita. Bahkan kita berani menghukumi "kafir" hingga halal darahnya.
Politik ini saya sebut sebagai politik Fira'un dan Namrud. Fir'aun dan Namrud sekarang tidak hanya dilabelkan kepada pemerintah yang dzolim, tetapi juga dilabelkan kepada siapapun yang mencoba membuat rumus oposisi binner.
Menghakimi secara sepihak, menyebarkan fitnah, dan membuat garis demarkasi antar dirinya dan kelompok tertentu akibat perbedaan-perbedaan yang ada. Budaya politik yang tidak dewasa seperti ini yang menjadi trend kelompok millenial.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan budaya politik kita menjadi sedemikian rupa. Pertama, demokrasi membuka ruang selebar-lebarnya untuk siapapun yang ingin menyuarakan dan mengekspresikan diri di ruang publik, tanpa memberikan wawasan politik yang bermartabat.
Kedua, marak dan mudahnya mengakses informasi, baik lewat internet, berita online dan sebagainya. Sehingga mereka terstigmatisasi oleh pemberitaan yang kurang lengkap, kabur, tidak objektif, dan kadang-kadang hoaks.
Ketiga, kaum millenial cenderung mengikuti trend-trend kekinian tanpa memiliki fondasi yang cukup untuk menelaah dan menilai informasi yang sampai kepada mereka. Keinginannya untuk terlihat keren serta dinilai "super" oleh publik; sahabat, kawan, keluarga, dan masyarakat lebih tinggi dibanding intelektualitas yang mereka miliki. Keempat, gengsi pergaulan, sifat dasarnya yang ambisius, prestisius, serta kebutuhan atas eksistensi diri. Kelima, bisa jadi karena idealismenya.
Melihat kenyataan yang terjadi, wajah politik kita yang "keruh" ini didominasi oleh lemahnya kapasitas intelektual masyarakat kita, serta kekurangan suplay pemikiran dari para tokoh-tokoh politik kita; baik praktisi maupun pengamat.
Seharusnya mereka hadir mendesain kerangka politik yang rasional, sehingga dapat tercipta ruang dialogis dan menghidupkan atmosfer politik yang dinamis, positif, dan konstruktif. Selain itu kehadiran mereka untuk mengalienasi budaya ikut-ikutan tanpa argumentasi (taklid buta).