Dalam keseharian acapkali ditemukan bahwa penghormatan untuk sebuah kehormatan adalah sesuatu yang terjadi dan menjadi seharusnya. Bagaimana mungkin seseorang dapat merasakan nilai sebuah kehormatan bila dalam hidupnya tidak pernah untuk memulai memberikan penghormatan kepada orang lain. Penghargaan yang diterima seseorang adalah diawali oleh keberanian seseorang tersebut memberikan penghargaan kepada orang lain. Kemuliaan yang diterima oleh seseorang adalah diawali oleh ketulusan seseorang untuk dapat memuliakan orang lain. Ketika seseorang memberikan penghargaan, penghormatan, kemuliaan kepada seseorang karena dia telah menerima penghargaan, penghormatan dan kemuliaan sebelumnya berarti dia tidak pernah memberikan penghormatan, penghargaan dan kemuliaan kepada orang lain.
Dikisahkan, bahwa seorang ‘abid dengan sebuah keluarga sederhana terdiri dari seorang ayah dengan ketiga putranya yang piatu. Jelang tua ayah mereka berpesan jika aku menghadap Allah SWT hendaknya anak2ku meneruskan perjuangan kehidupan ini dengan coba istiqamah dalam hidup dan mandiri serta berani memberikan penghargaan dan kemuliaan kepada orang lain. Dia mewariskan sejumlah ternak unta untuk dibagikan kepada ketiga putranya setelah dia berpulang kelak dengan ketentuan bahwa ternak unta berjumlah 23 ekor tersebut untuk putra pertama ambillah ia 1/2 bagian, putra kedua ambillah ia 1/3 bagian dan putra ketiga ambillah ia 1/8 bagian dengan syarat kesemua untuk itu tidak aku perbolehkan dijual dan atau disembelih sebelum anak2ku semuanya membagikan sesuai dengan amanatku ini.
Setelah ‘abid tersebut berpulang kerahmatullah, timbullah peselisihan diantara anak-anaknya dalam hal pembagian unta sesuai amanat orang tua mereka. Putra pertama tetap istiqamah dengan pembagian dan tidak mau disembelih dan atau dijual. Sementara yang lain ngotot untuk dijual dan atau disembelih saja agar dapat dibagi sesuai dengan bilangan pembagi, sehingga mereka bertengkar sampai ke puncak kemarahan yang hampir mencelakakan diri mereka. Dalam keadaan demikian lewat seorang sufi menghampiri mereka, memberi salam menyapa dengan ramah, dan menanyakan masalah yang membuat mereka gaduh dan bertengkar. Setelah mendengar penjelasan anak tersebut, sufi itu berkata ambillah untaku ini. Dengan serta merta ditolak oleh anak kedua yang tidak ingin ada intervensi siapapun dalam penyelesaian pembagian unta warisan mereka. Namun sufi itu memberikan nasehat ambillah untaku ini mungkin ada manfaatnya. Demikianlah setelah disepakati maka digabunglah unta sufi itu dengan unta mereka sehingga jumlahnya adalah 23 ekor tambah 1 ekor menjadi 24 ekor. Setelah mendapatkan jumlah ini baru sufi itu bertindak untuk membagi unta mereka sesuai dengan amanat orang tua mereka. Untuk anak pertama 1/2 dari 24 memperoleh 12 ekor, anak kedua 1/3 dari 24 memperoleh 8 ekor dan anak ketiga 1/8 dari 24 memperoleh 3 ekor. Jumlah keseluruhan ini adalah 12+8+3=23 ekor berarti tinggal seekor unta dari 24 ekor yang mereka bagi, sufi inipun berkata yang seekor ini adalah untaku dan aku ambil kembali. Betapa terperanjat ketiga anak itu akan peristiwa yang baru saja mereka alami, diam seribu bahasa.
Dari kisah tersebut betapa diperlukan adanya sebuah nilai di dalam hidup, nilai kebersamaan, nilai memberikan penghargaan kepada ide orang lain, nilai sosial kemasyarakatan bahwa kita tidak hidup sendiri tetapi memiliki keterikatan untuk saling melengkapi dengan orang lain. Semua nilai ini diperlukan untuk membangun masyarakat yang memiliki tata nilai yang tasamuh dalam kehidupannya sebagai benteng diri mereka memelihara diri dari kemurkaan Allah serta menempatkan realitas nilai hidupnya pada jalan yang diredhaiNya.
Untuk mencapai tujuan ini (baca: ketaqwaan) sejalan dengan membumikan nilai-nilai kiislaman di dalam kehidupan dapat ditempuh dengan pendekatan struktural. Strategi struktural ini lazimnya menggunakan sarana politik dengan pemberdayaan (empowerment) potensi yang bersifat reformatif, evolutif serta gradual. Kecenderungan pendekatan struktural ini adalah berusaha untuk memengaruhi struktur politik di dalam pembumian nilai-nilai keislaman itu. Berbeda dengan pendekatan kultural yang berusaha memengaruhi prilaku sosial (cara berpikir masyarakat) dengan sebuah penyadaran individual menuju sebuah tatanan komunitas yang memiliki visi serta paradigma yang sejalan. Dalam kondisi ini, pendekatan struktural, agama dijadikan moral of force. Sebagai kekuatan moral berarti seruan ke jalan kebenaran itu dilakukan dengan mauidhah hsanah dan juga tidak diawali oleh pemaksaan. Pola-pola pemaksaan akan melahirkan komunitas yang exclusive padahal kita memerlukan komunitas yang inclusive. Oleh karena itu, tantangan kehidupan sosial keberagamaan kita ke depan adalah mengubah cara berpikir perseorangan bukan kolektivitas menuju tatanan sosial masyarakat yang madani.
Adalah sebuah obsesi yang lahir dari cara berpikir positif, bahwa komunitas kita ke depan adalah sebuah komunitas yang membangun kepribadian kehidupan mereka dengan nilai-nilai keislaman di dalam segala lini kehidupan. Dan ini baru akan sempurna diungguh melalui pendekatan skrtuktural dan kultural. Sehingga keberhasilan seorang pemimpin pun akan diukur oleh rakyatnya dengan indikator bagaimana ia memiliki kemampuan memformulasikan pendekatan struktural dan kultural ketika ia memimpin rakyatnya menuju tatanan komunitas yang hidup dengan nilai-nilai ensensial kemanusiaan dengan landasan moral keislaman. Diantaranya adalah komunitas yang di dalam kehidupan mereka terdapat rasa saling menghormati, menghargai, serta memberikan kemuliaan antar sesama. (Wallahu a’lam bi al-shawab)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H