Lihat ke Halaman Asli

Caleg Godril

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Caleg godril sebenarnya merupakan istilah yang tidak lazim. Istilah godril (buah trembesi) sering digunakan untuk menunjuk pada orang-orang yang meracuni masyarakatnya. Dalam beberapa majalah kuno, godril sering dipakai untuk menunjuk para tokoh lamisan (munafik).

Dalam konteks politik, caleg godril dimaksudkan untuk menunjuk pada politisi yang sedang mempersiapkan diri menuju senayan, tetapi dengan senjata kebohongan dan lamisan. Ciri-ciri caleg godril adalah (1) meneriakkan pentingnya pengembangan masyarakat, padahal ia sendiri tidak pernah terlibat dalam persoalan itu sebelumnya, (2) sok moralis dan menggunakan "jubah agama" untuk menggaet massa, sementara perilakunya jauh dari tuntunan agama, (3) masuk dalam ormas keamaan, lalu menjadikan ormas tersebut sebagai identitas dimana-mana, sementara ia sendiri tidak pernah mendekat, apalagi berjuang, di ormas tersebut sebelumnya, (4) suka bicara muluk-muluk, pamerkan gelar dan asal sekolah di luar negeri, sedangkan peran di masyarakat nol, (5) lebih suka merapat pada kaum elit, dan sinis (acuh) terhadap kaum pinggiran. (nomor 6-99 bisa diteruskan sendiri).

Hanya caleg-caleg yang teruji memiliki kepedulian dan peran nyata di masyarakat saja yang dapat menarik simpati massa pemilih, bukan yang memamerkan gelar, bukan pula yang memamerkan kelas terbang, klan, dan sekutu-sekutunya, bukan pula orang yang mendekatai religious leader, ulama, kyai, pendeta, romo, bikshu dan sebagainya hanya untuk menumpang guna menggaet massa.

Kecerdasan politik masyarakat yang semakin tinggi, ternyata belum menyadarkan para politisi godril untuk bersosialisasi apa adanya, para godrilis masih saja bersandiwara sosial. Hal ini juga menjadi indikasi bahwa mereka menghina tingkat pemahaman masyarakat, dikira masyarakat tidak mengerti perilaku politik yang godrilistik.

Para pimpinan agama pun mestinya tidak membawa jama'ah untuk diarahkan kepada calon tertentu. Para religious leader sudah saatnya bertransformasi menjadi juru bicara moral dan berkampanye dalam ranah politik kenegaraan dan kebangsaan. Jika masih terjebak pada politik kekuasaan, bahayanya adalah jika yang didukung ternyata godrilis, kasihan santri, umat dan jama'ah. Selamat mencerna......




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline