Lihat ke Halaman Asli

Syamsul Bahri

coretan seadanya berawal dari minum kopi.

Membangun Budaya Bersih melalui Konsisten Tetap Bersih

Diperbarui: 10 Februari 2020   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu sudut taman di Surabaya (Dok: jatimnet.com)

Saya yakin hampir semua orang sudah pernah jalan-jalan ke Mall dan Pasar Tradisional. Dan saya yakin juga, bahwa kita sependapat kalau Mall jauh lebih bersih dari Pasar Tradisional. Terutama dalam hal pemandangan sampah yang berserakan.

Saya mencoba membandingkan bagaimana pengelolaan kebersihan antara Mall dan Pasar Tradisional. Manajemen Mall menerapkan sistem yang lebih ketat dan terukur, seperti selebaran yang tergantung di toilet berupa status kebersihan yang setiap jamnya diisi oleh pengawas. Belum lagi bagaimana petugas kebersihan yang siaga di beberapa titik selama jam operasional.

Bagi perokok yang pernah membuang puntung rokok sembarang ketika berada di area luar Mall,seperti dekat pintu masuk atau keluar, maka dalam hitungan beberapa menit saja akan datang petugas membersihkannya. Kondisi yang saya pikir akan membuat kita nampak bersalah, dan saya yakin tidak akan diulangi lagi.

Bagaimana dengan di Pasar? Di pasar kita tidak akan melihat seperti hal di atas, bagaimana aksi "cepat tanggap" petugas, dan bagaimana petugas kebersihan toilet yang pekerjaannya dievaluasi real time oleh pengawas. Di Pasar, buang sampah di pagi hari, kemungkinan besar akan dibersihkan ketika pasar tutup, atau bahkan tidak dibersihkan pada hari itu dan masuk jadwal pembersihan pada hari berikutnya.

Perbandingan di atas untuk ruang lingkup yang kecil, namun bisa diterapkan dalam membudayakan hidup bersih di skala Kabupaten/Kota di Indonesia, terutama budaya tidak membuang sampah sembarangan.

Penanganan kebersihan jalan-jalan Kota Surabaya, menurut saya sudah mendekati sistem yang diterapkan di Mall. Bagaimana membuat orang tidak membuang sampah dengan tidak membiarkan jalan-jalan nampak kotor atau sampah berserakan. Berdasarkan informasi dari petugas penyapu jalan, mereka bekerja menyapu wilayah tugasnya 4 kali sehari. 

Namun, berdasarkan yang saya lihat di beberapa jalan, petugas nampak hanya berjalan dengan santai sambil menyeret sapunya, dan sesekali diayunkan untuk mengambil sampah berupa dedaunan kering. Menyusuri jalan sekedar untuk memastikan jalan tetap bersih dan tidak ada sampah berserakan. 

Masyarakat seperti tidak diberi kesempatan untuk melihat sampah di jalanan. Bahkan, ketika saya melihat botol air kemasan di jalan, saya malah berpikir bahwa botol tersebut bukan dibuang tapi kemungkinan terjatuh dengan tidak sengaja.

Sementara di beberapa Kabupaten/Kota lainnya, petugas membersihkan hanya 2 kali sehari, pada saat pagi dan sore hari. Namun di beberapa lokasi strategis yang biasanya merupakan ikon kota, penanganan kebersihan jalan sedikit lebih extra. 

Dengan penanganan seperti ini, maka tidak ada efek ragu yang secara perlahan menghentikan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Dimana secara psikologi ketika jalanan nampak senantiasa bersih, maka orang akan berpikir untuk membuang sampah.  

Di sisi lain, pekerjaan petugas pun nampak lebih berat. Petugas penyapu jalan tiada hentinya mengayunkan sapunya untuk mengumpulkan sampah yang berserakan. Beda dengan Surabaya, yang saya melihatnya lebih sebagai fungsi kontrol dibandingkan membersihkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline