Lihat ke Halaman Asli

Syamsul Arifin

Dosen dan Wakil Dekan II Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram

Israel, Ilusi Teologis Mengingkari Fakta Empiris

Diperbarui: 23 Mei 2021   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam Yehezkiel -- kitab suci umat beragama Yahudi -- pasal 37: 21 terdapat doktrin yang menegaskan bahwa Tuhan telah menjanjikan  kepada mereka untuk kembali ke Eretz Yisrael (tanah Israel) ‘tanah yang dijanjikan’ (The Promised Land). Dengan doktrin ini, mereka berkewajiban melakukan Aliyah (bahasa teologisnya) atau migrasi ke bukit Zion (dalam bahasa politiknya), yaitu tindakan kembali ke tanah yang dijanjikan.

Doktrin tersebut dipahami dengan beragam tafsir. Namun, secara umum terdapat dua versi tafsir yang mengemuka di kalangan kaum pemeluk Yahudi. 

Pertama, kelompok yang memahami kata “tanah” dalam doktrin tersebut sebagai “Tanah Suci” (holy land). Dengan pemahaman seperti ini, mereka hanya berkewajiban berziarah. Kelompok ini mayoritas bermukim di Amerika Serikat. 

Kedua, kelompok yang meyakini bahwa tanah Israel (Eretz Yisrael) dalam doktrin tersebut adalah “Tanah Air” (homeland). Dengan pandangan teologisnya, kelompok ini, terutama Yahudi Diaspora berusaha melakukan migrasi ke tanah Palestina baik secara legal maupun secara ilegal, seperti perampasan tanah secara paksa yang berakibat konflik dengan masyarakat lokal.

Sebelum terbentuknya organisasi Zionisme – organisasi yang mengupayakan kembalinya kaum Yahudi ke tanah Israel --,  awalnya mereka berimigrasi ke Palestina atas kesadaran teologis personal,  terutama ketika wilayah Kanaan – sebutan masa lalu Palestina – ini masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Turki Ustmani.

Sebenarnya, problematikanya sangat complicated ketika membincang eksistensi negara modern Israel vis a vis doktrin teologis Eretz Yisrael. Bukan hanya persoalan metodologis dalam menafsiri doktrin tersebut yang menjadi perdebatan sengit di internal mereka. Tapi, juga tidak mudah mendeskripsikan bangsa Yahudi dan umat beragama Yahudi – merupakan dua istilah yang berbeda – dan implikasinya terhadap versi tafsir yang dominan mempengaruhi migrasi mereka ke tanah Palestina dengan pola-pola migrasi yang dilakukan.

Sampai saat ini, di kalangan bangsa Yahudi dan umat beragama Yahudi terus terjadi perdebatan untuk menentukan mana yang benar di antara dua versi tafsir atas kata Eretz Yisrael di atas. 

Sejumlah ilmuwan terkemuka Yahudi, seperti Albert Einstein,  Eric Fromm, Sigmund Freud, Eric Hobsbawn, dr. Siamak Morsadegh, dan Noam Chomsky, lebih meyakini bahwa Eretz Yisrael dalam doktrin tersebut dimaknai sebagai “Tanah Suci” daripada sebagai “Tanah Air”. 

Menurut Einstein, ide negara Israel akan banyak hal menemui kesulitan karena didasarkan atas pemikiran yang sempit dan itu buruk. Psikolog sosial terkemuka Eric Fromm juga mengomentari bahwa klaim tanah untuk bangsa Yahudi bukanlah klaim politik yang realistis. Sebab jika setiap pihak tiba-tiba mengklaim teritori bangsa lain yang telah menghuninya selama beribu-ribu tahun, maka hasilnya adalah kekacauan besar. 

Sama dengan Fromm, Psikoanalis Sigmund Freud, seorang Yahudi Austria berpandangan bahwa fanatisme yang tidak berdasar dari orang-orang satu keturunannya membangkitkan ketidakpercayaan dari bangsa Arab. Menurutnya, tidak pantas ada empati pada jenis kesalehan berupa ide negara (Israel) yang salah arah, jenis kesalehan yang menyinggung perasaan penduduk asli. 

Sejarawan Yahudi-Marxis Eric Hobsbawm juga menegaskan bahwa akan sia-sia membangun narasi untuk menghubungkan antara kaum Yahudi dan mitos kuno Tanah Israel demi membenarkan teritori negara Israel. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline