Lihat ke Halaman Asli

Syamsul Ardiansyah

Manusia Biasa dan Relawan Aksi Kemanusiaan

"Landreform" ala SBY di Cilacap

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326434156382318152

[caption id="attachment_163461" align="aligncenter" width="300" caption="Membagikan sertifikat tanah bagi petani bukan berarti SBY sudah menjalankan land reform lho..."][/caption] Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief, 12 Januari 2011, mengatakan SBY mendukung landreform. Andi Arief kemudian menjelaskan, tahun lalu secara konkret pemerintah telah membagikan tanah untuk petani di sejumlah wilayah. Antara lain di kecamatan Cipari, Cilacap dan Cibinong, Bogor. Benarkah SBY mendukung pelaksanaan landreform di Indonesia? Berikut ini ulasan yang pernah saya tulis pada 2010 lalu. Pada saat peringatan 50 tahun Hari Agraria Nasional (21/10) lalu, pemerintah SBY membagikan 291 hektar lahan kepada sekitar 5.141 keluarga petani. Masing-masing memperoleh lahan seluas 500 meter persegi. Inikah perwujudan landreform di Indonesia? Penulis tidak mau terburu-buru mengatakan bahwa program pembagian tanah di Cilacap beberapa waktu lalu adalah perwujudan program landreform di Indonesia. Mengapa? Pertama, jika mengacu pada UU Pokok Agraria 1960, tiap individu petani di Jawa sedikitnya memperoleh lahan seluas 2 hektar, sementara untuk petani di luar Jawa minimal memiliki lahan seluas 5 hektar. Jadi, jika dihitung dengan jumlah populasi petani yang mendapatkan lahan, seharusnya tanah yang dibagikan seluas 10.282 hektar, bukan seluas 291 hektar. Perhitungan lebih rinci bisa dibaca dari penjelasan UUPA 1960. Intinya, lahan seluas 2 hektar dipandang sebagai syarat minimum bagi petani untuk bisa mendapatkan kedudukan sebagai petani menengah. Bukan petani miskin, bukan pula petani kaya. Selain itu, dengan hanya memiliki lahan 500 meter persegi, sekitar 5.141 keluarga petani tetap berada dalam status “petani gurem” yang sama dengan mayoritas petani penggarap di Indonesia yang rata-rata mengelola lahan seluas 0,4 hektar. Kedua, masih merujuk pada UU Pokok Agraria 1960, proses redistribusi lahan adalah proses akhir yang sebelumnya diawali dengan proses pendataan tanah yang dilanjutkan dengan pembatasan kepemilikan dan penguasaan maksimum atas lahan. Proses pendataan dan pembatasan luas lahan ini penting untuk menghapuskan unsur-unsur yang bisa menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap petani atas dasar kepemilikan lahan. Proses pendataan dan pembatasan luas lahan sebenarnya bisa memungkinkan terjadinya distribusi lahan yang lebih adil. Dengan kata lain, jika proses ini dilakukan, bukan tidak mungkin tiap individu petani bisa mendapatkan lahan seluas ketentuan yang tertuang dalam UUPA 1960. Ketiga, perhitungan populasi yang berhak menerima jatah lahan berdasarkan landreform, sesungguhnya bukan berdasarkan kategori kepala keluarga, melainkan individu petani. Artinya, petani laki-laki, petani perempuan, lajang, maupun sudah berkeluarga, berhak atas lahan yang diperoleh melalui program redistribusi. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan landreform sebagai instrumen untuk membongkar relasi sosial yang patriarkis yang masih dominan di kalangan masyarakat pedesaan. Mendistribusikan tanah tanpa membongkar relasi patriarkis dalam masyarakat pedesaan tidak akan membawa manfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan dari aspek kebudayaan di kalangan keluarga petani. Pertanyaan yang seringkali mengemuka adalah mungkinkan landreform dilaksanakan di Jawa? Padahal populasi di Jawa sangatlah padat dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Jawabannya sangat mungkin. Mengapa? Landreform sebenarnya tidak hanya membagi-bagikan tanah. Lebih dari itu, landreform itu secara esensi bukan semata pendistribusian tanah. Yang hendak didistribusikan melalui landreform adalah manfaat yang diperoleh dari tanah dan sumber-sumber agraria lainnya secara adil. Dalam konteks itu, tanah adalah instrumen yang digunakan untuk menjamin proses tersebut. Barangkali, di Jawa memang sudah sulit untuk mendistribusikan lahan sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam UUPA 1960. Meski demikian, distribusi manfaat atas lahan masih tetap bisa dilaksanakan. Caranya adalah dengan mengatur sistem bagi hasil pertanian dan upah buruh tani atau buruh kebun yang adil. Kesenjangan pendapatan antara pemilik dengan penggarap lahan, sehingga para penggarap bisa meningkatkan taraf hidupnya secara lebih baik. Dengan cara ini, landreform bisa selaras dengan program pengentasan kemiskinan di pedesaan. Jika melihat aspek-aspek terkait landreform sebagaimana tertuang dalam tulisan ini, program redistribusi lahan di Cilacap beberapa waktu lalu memang masih jauh dari apa yang disebut dengan landreform sebagaimana diamanatkan oleh UUPA 1960. Program redistribusi tersebut belum cukup untuk disimpulkan sebagai adanya itikad pemerintah SBY-Boediono untuk melaksanakan landreform di Indonesia. Artinya, tanpa mengecilkan hasil yang telah diraih saat ini, perjuangan 5.141 petani di Cilacap dan jutaan petani di Indonesia untuk pelaksanaan landreform di Indonesia sesungguhnya belumlah selesai.*** Esai-esai lain tentang Pembaruan Agraria - Landreform: Agenda Inklusif Atasi Kemiskinan - Kelaparan dan Perampasan Tanah - Beberapa Catatan tentang Masalah Agraria

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline