Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Menteri Susi ; Menyorot Pergeseran Paradigmatik Atas Pendidikan Formal

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kontroversi dipilihnya menteri Susi Pudjiastuti oleh presiden jokowi sempat menyeruat ke permukaan diawal pembetukan kabinet kerja. Kontoversi itu muncul karena beberapa hal yang tergolong baru dalam dunia kementrian. Menteri susi dianggap tidak layak menjadi menteri karena kelakuannya yang nyentrik, tubuhnya yang ditato, merokok (di indonesia perempuan merokok dianggap kurang baik) dan yang paling menonjol adalah latar belakang pendidikan formalnya yang hanya lulusan SMP. Kontroversi sudah berlalu walau mungkin masih banyak yang merasa “nggerundel” , tapi masyarakat secara umum tidak menganggapnya sebagai suatu masalah yang perlu diperpanjang, masyarakat lebih menunggu kinerja dan terobosan apa yang bisa ditunjukkan oleh bu menteri. ya, ditunggu kerjanya, karena ia tergabung dalam kabinet kerja.
Kabar terbaru dari dunia kelautan dan perikanan, atau dunia dimana menteri susi diamanahkan untuk bekerja, ada tiga kapal vietnam yang melakukan pencurian ikan di tenggelamkan di Tarempa, Anambas, Kepluauan Rian, bahkan rencananya minggu depan akan melakukan hal serupa di Batam dan pekan selanjutnya di Batam (Berita.yahoo.com). dilihat dari aspek ketegasan dan keberaniaannya hal ini akan membawa angin segar kepada khalayak masyarakat. lantas adakah dampak besar yang mungkin merubah paradigma masyarakat terutama dalam dunia pendidikan?
Jika dahaga masyarakat dan kerinduan akan pemimpin berani, tegas, jujur dan berprestasi mampu diobati oleh prestasi-prestasi menteri Susi, maka sudah dipastikan paradigam masyarakat akan pendidikan formal akan mengalami pergeseran. Selama ini hampir menjadi kebenaran umum bahwa untuk menjadi “orang penting” di negeri ini haruslah mencapai pendidkan formal yang paling tinggi, tanpa jalur itu hanya “orang sinting” yang berani berpikir bisa menjadi orang penting dan mengisi pos Birokrasi pemerintahan. jangankan menjadi menteri, menjadi pegawai negeri sipil pun harus lulusan S1.
Sebenarnya apa yang salah dari pendidikan formal kita sehingga sedikit sekali memunculkan sosok cerdas dengan keberanian yang tinggi untuk mengungkap kebenaran, kecerdasan dalam bertindak memberantas kebatilan dan kejumudan?
Ditinjau dari aspek filsafat pendidikan, ada dua hal yang menjadi nilai garap dari sebuah pendidikan yaitu aspek Humanisme dan akademik. Humanisme mengembangkan manusia dari sisi ketrampilan dan praktik hidup, sementara aspek akademik menekankan nilai kognitif dan ilmu murni. Pendidikan humanisme berankat dari filosofi dan pemahaman dasar akan manusia. Manusia sebagai mahluk yang unik dan holistik haruslah dipahami secara sadar dan menyeluruh. Karena pendidikan adalah cara manusia mendapatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, maka dalam aspek ini manusia dilihat sebagai mahluk yang mencari ilmu dan alat pencarian dan mendapatkan ilmu pengetahuan melalui indra manusia, akal logika dan hati. Ketiganya menjadi alat yang digunakan oleh manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang utuh dan konferehensif. Contoh sederhana untuk memahami hal ini dalam kehidupan sehari-hari adalah seseorang melalui indranya melihat sebuah pohon mangga, ia mengetahui bahwa pohon mangga berbuah mangga, dan selalu berbuah mangga tidak pernah berbuah apel atau manggis, akal yang “nakal” akan bertanya kenapa demikian? Kenapa pohon mangga selalu berbuah mangga dan tidak berbuah apael atau manggis? Maka akal terus berpikir dan menemukan sebuah jawaban bahwa ada hukum yang mengatur atas sebuah pohon mangga bahwa mangga haruslah berbuah mangga, bukan buah-buah yang lain. Akal terus mencari bagaimana sistem hukum yang berlaku. Dan tidak cukup disitu, akal akan membawa pada kesimpulan bahwa hukum yang berlaku pada pohon mangga dibuat oleh sang pencipta hukum, disini akal mengantarkan pada kesimpulan bahwa ada kekuatan yang maha kuasa yang mengatur pohon mangga. Tapi manusia tidak puas sampai disana, manusia ingin merasakan keberadaan tuhan, merasakan kekuatannya dan kelembutan kasih sayang tuhan, maka disini hati (spiritualitas) mengambil peran, umumnya agama-agama mengajarkan sebuah ritual-ritual untuk menjawab keinginan yang terakhir ini. Dengan pendekatan yang seimbang antara indra manusia (empirik), akal (filsafat) dan hati (spiritualitas) maka manusia mempunyai pemahaman yang utuh tentang pohon mangga, tanpa salah satu dari ketiganya maka pemahaman utuh yang ingin didapatkan hanyalah utopis belaka. Dan secara perbuatan (psikomotorik), manusia akan memanfaatkan sebaik-baiknya terhadap pohon dan buah yang dipetik darinya sebagai sebuah anugerah ynag diberikan oleh tuhan.
Kalau cara pandang untuk memperoleh ilmu pengetahuan ini ditarik pada fenomena lembaga pendidikan formal yang lebih menekankan pada aspek kognitif dan ilmu murni, pertama-tama kita kita akan menyadari bahwa pendidikan formal kita menjauhkan para murid dari realita sosial. Murid sekolah maupun mahasiswa ditekankan untuk memahami materi pelajaran ketimbang dia harus belajar dengan bergumul dengan realitas. Indonesia masih menganut filosofi semakin banyak belajar maka akan semakin pintar, berbeda dengan finlandia sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia yang menganut fislosofi semakin banyak libur maka siswa akan semakin pintar. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa sekolah atau kuliah hanyalah sebagai pemicu dan perangsang bagi siswa untuk memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya sehingga kepribadian yang terbentuk adalah kepribadian yang datang dari dirinya sendiri bukan kepribadian yang dipaksakan dari lembaga pendidikan, kesadaran yang muncul juga adalah kesadaran atas realitas yang ada didepannya, di lingkungannya, bukan kesadaran palsu atau bahkan tanpa kesadaran akan realitas karena beban ynag diberikan lembaga pendidikan terlalu menyita perhatian sehingga tidak menyisakan waktu sekedar merenung dan memikirkan realita sekitarnya. Bukankah realita kehidupan yang nyata adalah apa yang nampak dalam lingkungannya, bukan apa yang ada dalam kisi-kisi materi pelajaran dan ancaman jebloknya nilai dalam ujian?
Yang kedua pendidikan formal mengurangi potensi akal untuk bergerak liar mencari pertanyaan-pertanyaan yang belum terungkap dan jawaban atasnya. Seperti kritik yang dibangun oleh Paulo Freire atas pendidikan formal model Bank. Freire mengkritik pendidikan formal di negaranya (Brazil) karena pendidikan yang ada disana tak ubahnya seperti Bank yang memerintahkan pada para murid untuk menyerap pelajaran sebagaimana yang diajarkan oleh guru di sekolah, dan di akhir dalam ujian guru meminta para murid untuk menjawab pertanyaan pertanyaan dalam ujian dan jawaban yang disampaikan oleh para murid haruslah sama persis seperti apa yang diberikan oleh guru waktu memberikan pelajaran. Bukankah negara dan agama sangat melindungi akal manusia, dan bukankah manusia bebas untuk berfikir dan berkreasi, lantas apakah salah jika murid menjawab berbeda dengan apa yang disampaikan guru waktu mengisi pelajaran. Jika potensi ini dipersempit (untuk tidak mengatakan dibunuh) dan jawaban yang keluar dari murid haruslah sama persis sperti yang disampaikan oleh guru berarti embaga pendidikan formal telah membunuh kebenaran objektif karena kebenaran objektif adalah kebenaran yang senantiasa dicari, datangnya bisa dari mana saja. Pengembangan ilmu pengetahuan dari praktik pendidikan formal yang demikian adalah sulit diharapakan. Pengembangan ilmu pengetahuan hanya didapatkan melalui cara-cara dialektis. Meminjam teori dialektika GWF Hegel (1770-1831 M), munculnya sintesis adalah benturan antara tesis dan antitesis sehingga menemukan titik kompromi berupa sitesis, Bukankah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-syafi’i (767-819 M) sang pendiri Madzhab Besar Syafi’iyah dari kalangan Sunni pernah mengajarkan sebuah hikmah yang sangat dalam tentang ilmu pengetahuan bahwa “Kebenaran dalam pandanganku mengandung satu kesalahan dalam pandangan orang lain dan kesalahan dalam pandanganku mengandung satu kebenaran dalam pandangan orang lain”. Cara monolog dan ceramah sebagai gaya pendidikan formal kita dalam menyampaikan sebuah pelajaran akan menghilangkan potensi datangnya kebenaran dari para siswa dan proses dialektika diruang kelas meniadakan antitesa dan pastinya tidak akan ada sintesa.
Penulis jadi teringat akan cerita Romo Mangunwijaya saat mengenyam pendidikan formal dimasa penjajahan Belanda, pada saat itu pendidikan yang dibangun berbasis realitas, dimana para murid diperintahkan untuk melihat fenomena-fenimena yang ada disekitar kemudian dari hasil observasi sederhananya para siswa diajarkan untuk mempresentasikan hasil observasinya didepan kelas kepaa guru dan murid-murid yang lain. Mungkin atas dasar ini maka para murid pada saat itu menyadari apa yang terjadi dimasyarakatnya sehingga semangat pendidikan adalah semangat perbaikan kondisi sekitar dengan pemahaman khas akademik, dan bisa jadi semangat untuk memerdekakan diri dari penindasan para penjajah bebrbenih dari sana.
Maka tidaklah heran kalau output pendidikan kita jarang menghasilkan para intelektual karena matinya daya nalar kritis disebabkan model penerapan pendidikan yang salah, terutama pendidikan formal tdak berbasis pada realitas. Jadi kita menyadari bahwa aspek kognitif yang dikembangkan dalam lembaga pendidikan formal adalah penerapan kognitif yang keliru, lantas bagaimana dengan pengembangan afektif? Mungkinkah terjadi kesalahan mendasar pula? jawabannya Bisa jadi. Gabungan dari kognitif dan afektif yang sebenarnya akan mengantarkan pada Psikomotorik yang baik dan progresif.
Kembali pada fenomena menteri Susi, menteri yang tidak mengenyam pendidikan formal sampai Perguruan Tinggi itu jika terus mampu menggapai prestasi-prestasi dalam mengemban amanah sebagai menteri kelautan dan perikanan sementara disisi lain pendidikan formal masih saja tidak melakukan perbaikan maka bisa saja masyarakat tidak percaya lagi pada pendidikan formal sebagai wadah menempa anak-anaknya agar menjadi orang cerdas dikemudian hari. Masyarakat akan tergerak untuk mencari model pendidikan alternatif sebagai upaya penempaan para siswa untuk mencari ilmu dan kemampuan sekaligus. Pendidikan alternatif memang perlu dikembangkan sebagai solusi tidak berdayanya lembaga pendidikan formal menjawab tantangannya, namun menteri pendidikan perlu menyorot akan permasalahan ini. Jika tidak, maka masyarakat akan berbondong-bondong meninggalkan pendidikan formal yang semakin hari semakin jauh dari harapan dan menjauhkan para murid dari harapan. Semoga menteri Susi mampu terus berani dan berprestasi dan menteri Anis Baswedan membawa arah pendidikan lebih progresif dan sesuai dengan kebutuhan bangsa tanpa melupakan aspek humanistik dalam pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline