Lihat ke Halaman Asli

Masjid: Jalan Lain Revolusi Pendidikan

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan melalui sekolah merupakan media mitosisasi manusia. -Ivan Illich-

Senada dengan proposisi yang di ungkapkan Ivan Illich dalam esaynya yang bertajuk "Deschooling Society", dunia pendidikan secara inheren adalah pendidikan yang tersistem di lembaga Formal(sekolah), telah banyak kita melihat ataupun mendegar polemik yang sifatnya konvensional ataupun kontemporer yang salah satu diantaranya adalah fenomena Deskrimanasi bahkan juga kekerasan yang bersifat Fisik.

Lembaga pendidikan bagaikan pabrik yang menganut sistem mekanika seperti mesin, bukan sebagai rutinitas yang selaras dengan asas "ban berjalan". Seperti yang dikemukakan oleh Bourdieu dan Passeoran bahwa sekolah adalah merupakan arena produksi kelas kelas sosial yang mengakibatkan ketimpangan sosial.

Saya kembali bergulat dengan pertanyaan yang di dasari pernyataan dari beberapa pemikir pendidikan diatas. Pendefenisian Pendidikan adalah salah satu yang membuat kita sering kali Falacy (sesat) berpikir dan cepat mengambil conclusion, seperti Pendidikan,pengajaran/sekolah dan latihan memiliki arti yang sama oleh masyarakat, padahal setiap kata itu memiliki arti dan makna yang berbeda.

Dalam buku yang ditulis Oong Komar (Filsafat PNF), Pendidikan adalah proses bimbingan anak untuk menjadi merdeka/dewasa. Tujan dari pendidikan adalah menjadikan manusia dewasa merdeka. Tan malaka juga mengatakan bahwa Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.

Pendidikan berusaha membantu Hakikat manusia untuk meraih kedewasaannya, yakni menjadi manusi yang memiliki integritas emosi, intelek, dan perbuatan. Semua itu dalam rangka melaksanakan kebebasan untuk memilih secara bertanggun jawab dan etis, atau bahasa sederhanya menjadi manusia seutuhnya.

Realita yang terjadi dewasa ini, Lembaga pendidikan hanya menjadi ladang produksi dengan hegemoni rekonstruksi Gedung gedung yang mewah dan adversting yang membuat kaula muda dan masyarakat berminat untuk mendapatkan satu kursi agar anak mereka dapat bergabung dengan korporasi, saya lebih senang menyebut sekolah sama halnya korporasi*.Bukankah yang di inginkan adalah Iklim sekolah bersifat demokratis dan tanpa diskriminatif ?

Di indonesia sudah diatur dalam Sisdiknas No.20 tahun 2003, Bab III ayat 1, yang menyatakan pendidikan di selengarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak deskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Entah negera ini belum bisa move on dari bayangan masa klonial belanda yang tujuan pendidikannya menjauhkan pribumi dari realitas kebangsaannya sendiri. Sehingga hari ini masih banyak sekolah lembaga formal milik negara ataupun swasta yang terdapat trouble yang dilakukan oleh praktisi ataupun siswa.


Pendidikan dalam kontruksi kebudayaan

Penduduk Indonesia mayoritas beragama muslim. Perspektif saya, seharusnya dengan banyaknya masjid masjid yang didirikan dikota maupun daerah yang begitu banyaknya angagaran-angaran dan bantuan-bantuan pendanaan tidak lagi melihat guna masjid hanya sebagi tempat beribadah, masjid ini bisa juga diahli fungsi sebagai membantu pembelajaran anak yang berproses menuju dewasa. Dimana masjid masjid difasilitasi taman bermian,taman baca, sehingga membuat stimulus kepada anak, karena usia anak anak adalah masa riang dan penuh kegembiraan, jangan sampai kita membunuh stimulus kreatif meraka dengan megekang atau bahkan melakukan kekerasan.

Namun realitas yang terjadi, ketika anak anak pergi kemesjid bersama ibu dan ayahnya untuk diperkenalkannya masjid, ada sebagian orang yang marah atau bahkan membuat tulisan jangan membawa anak kemesjid, jamaah terganggu. Bukankah Ini akan menjadi stimulus baru bagi anak-anak bahwa masjid adalah tempat yang seram. Bagi saya Masjid atau tempat ibadah lainnya adalah salah satu cara yang pas untuk memperhalus persaan dan mempertajam kecerdasaan bagi anak ataupun orang dewasa, pendidikan ini juga sering disebut pendidikan Non formal (pendidikan Luar Sekolah) Informal.

Jika Kebudayaan didefiniskan sebagai kebiasaan, kebiasaan apa yang akan kita rubah didalam Pendidikan? Bagi saya, Masjid-masjid harus berperan aktif dalam proses penyadaran dan peningkatan potensi/daya manusia yaitu Fitrah kita sbagi manusi akal, agar sekiranya masnusia berfikir kreatif dan dewasa dalam bertindak, saya optimis ini bisa dijakan sebagi local wisdom/kearifan lokal suatu daerah.

Pendidikan memerlukan pencurahan segala daya Insani (akal, alat indra, keterampilan, perasaan, dll). Namun bagi saya yang terpenting bagaiman pendidikan dapat mengetarkan Hati. Kegiatan pendidikan harus mampu merangsang anak atau peserta didik menjadi riang gembira, haru syahdu, patirot, serta keterlibatan perasaan/emosi.

Banyak ragam lembaga pendidikan modern dan canggih dengan segala bujukannya padahal intinya hanya menguntungkan lembaga pendidikan sendiri. Banyak lembaga yang demikian hanya menyiapkan orang pandai saja, tapi tidak bermoral dan tak bertanggung jawab akan merugikan dirinya sendiri dan lingungannya. Ia akan berkonflik dengan lingkungannya atau bahakan ia akan menjadi orang jahat atau sakit jiwa.

Oleh: Syamsuddin (Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah Unmul)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline