Lihat ke Halaman Asli

Syamsuddin

Pembelajar sejati, praktisi dan pemerhati pendidikan

Ayahku, Guru Kehidupan Pertama dan Utama

Diperbarui: 11 November 2023   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ayahku La Hanufi adalah guru pertama yang aku kenal dalam perjalanan  hidupku. Walau hanya berprofesi sebagai petani, bagiku ayah adalah sosok guru terbaik dalam hidupku. Dari beliau aku belajar nilai hidup yang sesungguhnya.

Meskipun berprofesi sebagai petani, namun ayah memiliki perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya. Terbukti semua anak-anaknya didorong dan difasilitasi untuk bejar dan sekolah setinggi-tingginya.

Saya sebagai anak pertama telah menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Tiga (S3) pada salah satu kampus Islam di kota Bogor Jawa Barat. Al-hamdulillah pendidikan sejak S1 sampai S3 hampir semuanya dengan beasiswa.

Anak ketiga menyelesaikan pendidikan jenjang Magister jurusan Manajemen Administrasi Publik. Saat ini menjadi abdi negara sebagai ASN di salah satu instansi Pemerintah Kabupaten di Sulawesi Tenggara. Sementara yang paling bungsu sedang menempuh pendidikan profesi apoteker, setelah tahun lalu menyelesaikan studi jenjang sarjana strata satu (S1) jurusan Farmasi (S. Farm).

Sebagai seorang keluaran Pendidikan Guru Agama (PGA) yang tidak sampai tamat, ayah tidak mengajarkan banyak ilmu berupa pengetahun kepada kami anak-anaknya. Tapi yang beliau ajarkan kepada kami adalah nilai hidup (value) dan semangat cinta ilmu. Bagi saya, ayah adalah sosok pembelajar sejati.

Ayah memiliki prinsip bahwa pendidikan harus menjadi prioritas pertama dan utama. Karena menurutnya pendidikan adalah jalan satu-satunya meraih sukses, meningkatkan taraf hidup dan naik level dalam starta sosial. Ayah juga menyadari bahwa anak-anak akan hidup bukan pada masa yang dijalani oleh orangtuanya. Dan satu-satunya jalan untuk bisa survive di masa depan adalah pendidikan. Beliau pernah beberapa kali mengatakan kepada saya dan adik-adik saya. ''Kalau kamu tidak sekolah, kamu mau jadi apa? Mau makan apa? Kamu tidak bisa bertani dan berkebun seperti bapak, kalau mau sukses harus sekolah".

Oleh karena itu ayah berusaha semaksimal mungkin agar putra-putrinya dapat bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Tanpa sengaja saya pernah mendengar ayah berkata pada ibu, ''Biar hanya makan nasi dan garam, anak-anak harus tetap dan terus sekolah". Sehingga semenjak saat itu ayah menabung dari jualan hasil kebun dan ternak unggas yang dilakukan secara tradisional. Selain menabung secara manual ayah juga mendaftarkan anak-anaknya pada program asuransi pendidikan. Alhamdulillah saat tamat SMA saya masuk perguruan tinggi . Seingat pada tahun tersebut hanya tiga anak petani dari kampung/desa kami yang lanjut studi ke jenjang perguruan tinggi.

Hari ini dari empat anak putra putri, satu diantaranya telah menyelesaikan jenjang doktoral (S3) dan berkiprah di dunia pendidikan sebagai pendidik. Anak ketiga telah menyelesaikan sratara dua (magister) dan berkiprah sebagai ASN. Yang bungsu sedang menempuh pendidikan profesi apoteker. Sedangkan anak kedua memilih tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dan berwiraswasta.  

Bagi kami anak-anaknya, ayah adalah guru pertama dan utama. Beliau mengajarkan kami nilai dan prinsip hidup yang menjadi petunjuk dan bekal kami menjalani hidup, disamping beliau mendorong dan memfasilitasi anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan. Trimakasih ayah. Selamat hari ayah 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline