Nostalgia Ramadan di Masa Kecil; dari Selamatan Haroa sampai Pesantren Ramadan
"lan tarjia' al-ayyam allati madhat", kata sebuah pepatah Arab yang berarti takkan kembali hari-hari yang telah lalu. Tapi hari, pekan, sampai tahun yang telah berlalu tetap indah untuk dikenang. Termasuk kenangan nostalgia Ramadan di masa kecil.
Saya terlahir di awal 80-an menginjak remaja di pertengahan 90-an dan dewasa di awal 2000-an. Kini usia memasuki kepala empat. Ramadan kali merupakan Ramadan 43 dalam hidup saya.
Walau baru 37 kali menjalani puasa Ramadan. Kebetulan mulai menjalani puasa di usia 6 tahun. Walau sebelumnya sudah mulai belajar secara bertahap.
Banyak kenangan indah yang jadi nostalgia Ramadan di masa kecil. Mulai dari nostalgia bersama ayah, ibu, adik, kawan sepermaian, teman sekeolah, guru ngaji, dan sebagainya.
Selametan ''Haroa" jelang Ramadan
Ramadan bulan suci yang dinanti. Kedatangannya disambut suka cita. Di kampung halaman saya Pulau Muna Sulawesi Tenggara terdapat tradisi menyambut Ramadan dengan menggelar selametan atau doa bersama.
Dalam bahasa Muna tradisi ini disebut haroa. Tradisi ini biasa digelar pada moment sakral dan penting seperti menyambut Ramadan, dua haria raya, malam lailatul qadr, syukuran atas keberhasilan anggota keluarga seperti lulus kuliah, menikah, dan sebagainya.
Bagi anak kecil seusia kami kala itu yang menarik tentu makan-makannya. Kalau doa hanya ikut-ikut meramaikan dan mengaminkan.
Semalametan haroa menjelang Ramadan biasa disebut tembaha wula (bahasa Muna). Artinya syukuran menyambut awal bulan (Ramadan).
Haroa tembaha wula menjadi momentum yang indah bagi anak-anak seperti kami. Karena bagi kami anak desa acara haroa menjadi momentum ''makan enak" yang tidak didapatkan setiap hari. Karena biasanya ada menu khusus yang disajikan untuk acara haroa.