Lihat ke Halaman Asli

Tuduhan Plagiat Sebagai Bagian Perseteruan Lekra-Manikebu

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13022640001961956025

Dari kemarin aku sudah tak berminat untuk menelusuri dari mana asal merebaknya isu plagiat yang dituduhkan terhadap Taufiq Ismail, penyair angkatan 66 yang sudah 58 tahun berbuat di ranah sastra itu. Mungkin saja itu hanya igauan sentimen dari orang-orang yang lebih ddasari suka dan tidak suka . Sehingga aku sudah merasa cukup dengan jawaban Taufiq Ismail yang menafikan tuduhan itu dalam postingan di blogku Ternyata Puisi Kerendahan Hati Bukan Karya Taufiq Ismail. Namun ketika kubuka akun fesbuk-ku pagi ini, status pertama yang muncul di dinding adalah dari seorang teman yang mengambil nama Denai Sangdenai dengan men-share status Bramantyo Prijosusilo sebagaimana cropingan gambar di bawah ini : Status fesbuk dimana bola salju tuduhan plagiat itu mulai digulirkan, pada hari kelima kehadirannya telah disesaki sebanyak 129 komentar dan 51 orang menyukainya. Iseng-iseng kubaca beberapa komentar, yang memang cukup memerihkan jika kita mencoba berdiri disisi orang yang dituduh. Sekaligus memperjelas bahwa sebagian besar yang memberi komentar terhadap status itu adalah orang-orang yang nyata-nyata berseberangan pendapat dengan Taufiq Ismail. Bahkan beberapa orang tampak berusaha untuk menggiring pembahasan ke masalah klasik ranah sastra mutakhir tanah air : perseteruan Lekra - Manikebu. Sebuah sikap dengan pola berpikir yang khas Indonesia. Dimana disatu pihak sastrawan-sastrawan muda yang memiliki dendam warisan juga merasa ditekan ketika orang-orang yang didukung berada dibawah tekanan. Maka mereka selalu berupaya untuk mencari celah yang bisa menjatuhkan pihak-pihak yang dianggap lawan. Itulah yang dilakukan terhadap sosok Taufiq Ismail, memanfaatkan kesempatan untuk melakukan pembunuhan karakter dengan sebuah fakta yang coba disesuaikan dengan logika. Opini yang berkembang dalam pergunjingan yang dilabeli 'diskusi' oleh para pesertanya ini, pada akhirnya mencapai titik seimbang dengan hadirnya beberapa orang yang mumpuni untuk memberikan penjelasan, diantaranya Fadli Zon seorang politikus yang juga Ketua Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail Berkarya Tahun 2008. Sebagai seorang yang bukan pegiat sastra apalagi sastrawan, aku tak bisa punya pendapat yang memihak dalam hal ini. Karena menurutku, tidak ada sastra beraliran Lekra ataupun yang beraliran Manikebu di Indonesia, sastra ya sastra! Yang ada itu hanyalah pribadi sastrawan yang diistilahkan berhaluan kiri dan dulu pernah dekat dengan ideologi kekuasaan, yang mungkin saja dulu itu berbuat semena-mena terhadap sastrawan lain yang dianggap memiliki ideologi berbeda. Sehingga ketika terjadi pergantian kekuasaan, maka berubah pulalah kelompok yang tertekan menjadi penekan, Satu hal yang akan senantiasa berulang jika kesempatan memihak pada mereka. Anak-anak muda yang dibesarkan selama 32 tahun dalam rezim Orba yang represif, mencoba untuk melakukan penentangan dengan memuja hal-hal yang dinegasikan oleh penguasa. Sehingga tak heran para aktivis kampus dalam kurun waktu 90-an akan senang jika memiliki gambar palu arit di dinding kamarnya, padahal jelas-jelas dia bukan penganut paham komunis. Aku pun yang dulu aktif sebagai filatelis atau kolektor prangko, merasa sangat senang ketika mendapatkan prangko Uni Sovyet yang bergambar palu arit. Ketika para anak muda ini telah menceburkan diri ke dunia nyata dan beberapa diantaranya eksis di dunia sastra, maka secara otomatis mereka menjadi pengikut kelompok bentukan alamiah ideologi politik, terutama yang berada di bawah tekanan. Karena pada umumnya idealisme seseorang selalu akan berpihak kepada yang kalah dan tertindas. Pertarungan ini akan terjadi sepanjang zaman, jika tidak ada perubahan dalam irama yang mewacanai gagasannya. Jika kelompok yang menyatakan diri sebagai sastrawan Lekra tengah mengupayakan suatu kebangkitan dengan mencoba menenggelamkan kelompok lain, tentu pada gilirannya akan terjadi hal yang sama. Makanya suatu jalan yang menurutku layak dicoba, ketika anda tengah mewujudkan eksistensi di bidang sastra dan kebudayaan, berbuat dan berkaryalah, apapun jenis karya anda, tanpa harus melabeli diri dengan sebutan Lekra atau Manikebu, tetapi hanya murni sastra, maka anda akan hidup untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline