Hari ini kita mendapat informasi bahwa AIRA ASIA yang jatuh di perairan Pangkalan Bun Kalimantan Tengah, ternyata tidak mempunyai Izin Terbang pada hari minggu 28 Desember 2014 tersebut. Informasi lainnya Air Asia tidak mengambil data ramalan cuaca sebelum berangkat, yang menurut penjelasan para pakar ramalan cuaca amat menentukan dan sangat diperlukan oleh PILOT dalam membuat rencana penerbangan sebelum take off. Informasi berikutnya penerbangan tersebut juga ternyata dilakukan dengan memajukan jadwal penerbangan dari jadwal semula menjadi 2 jam lebih awal.
Tidak mengambil ramalan cuaca sebelum terbang, bisa diduga mengakibatkan pembuatan rencana penerbangan sebelum take off tidak didukung oleh data-data yang lengkap, atau mungkin saja rencana penerbangan hanya dibuat berdasarkan hitungan jarak Surabaya-Singapura saja, tanpa melibatkan unsur perkiraan cuaca. Tentu ini sangat riskan dan patut disesalkan.
Memajukan jadwal penerbangan dari jadwal semula juga bukan tanpa resiko, mengingat udara Indonesia cukup sesak dengan berbagai pesawat yang melintas. Pemberian jadwal semestinya sudah mempertimbangkan kepadatan jalur udara yang akan dilalui dan kemampuan ATC untuk memonitor penerbangan dimaksud. Oleh karena itu pemajuan jadwal tentu haruslah mempertimbangkan berbagai aspek tersebut dan harus mengutamakan keselamatan penerbangan dimaksud. Kita tidak tahu siapa yang memberikan otoritas sehingga jadwal tersebut kemudian dimajukan.
Yang tidak kalah penting adalah adanya informasi bahwa AIR ASIA tidak punya izin penerbangan pada hari minggu tersebut. Tapi faktanya, AIR ASIA bisa menjual tiket dan bisa take off dari Bandara Surabaya. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab. Mengapa penerbangan yang tak mempunyai izin terbang pada hari tersebut bisa menjual tiket dan bisa terbang ? Begitu lemahkan pengawasan ototritas penerbangan kita ?
Ini Kebiasaan kita. Setelah semuanya menjadi bubur, setelah pesawatnya jatuh, setelah penumpang yang begitu banyak menjadi korban, baru kita sama-sama memperoleh informasi dan mencari kesalahan. Sungguh mengenaskan. Kita selalu saja mencari kesalahan setelah sesuatu terjadi. Kita tidak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan selama ini. Pengalaman adalah guru yang terbaik, begitu selalu kita diajarkan. Akan tetapi sejauh ini Otoritas penerbangan kita tidak juga mampu mengambil pelajaran dari beberapa kecelakaan yang terjadi. Otoritas kita tidak juga mnampu mengambil tindakan untuk memperbaiki keselamatan penerbangan kita agar sesuai dengan standar internasional.
Tidak heran kalau kemudinan lembaga penerbangan internasional meyimpulkan bahwa ada 126 item prosedur penerbangan indonesia yang tidak sesuai standar internsional, dan menyimpulkan bahwa keselamatan penerbangan di Indonesia "sangat buruk" .
Bukan saatnya lagi kita mencari-cari kesalahan, tapi waktunya memperbaiki kesalahan tersebut. Waktunya dunia penerbangan kita mengikuti standar keselamatan penerbangan internasional. Warning dari masyarakat Eropa yang sempat melarang semua penerbangan oleh maskapai Indonesia ke Eropa kembali menjadi kepedulian kita membenahi penerbangan di Indonesia. Baik itu perusahaan penyedia jasa penerbangan, kesiapan bandara dan regulasi yang diperlukan.
Cukup sudah korban-korban barjatuhan, jangan ditambah lagi. Meski Indonesia penduduknya "sangan banyak" lebih dari 240 juta, kita tidak mau kehilangan pemduduk dengan cara seperti ini.
Waktunya kita melakukan aksi nyata, mari perbaiki keseluruhan sistem penerbangan kita, baik regulasi, penyedia jasa penerbangan maupun bandara-bandara yang mengawasi langit Indonesia. Semoga Pemerintah sungguh-sungguh melakukan perbaikan sehingga kita tidak lagi mendengar dan melihat kejadian seperti AIR ASIA ini terulang di bumi ibu pertiwi. Insya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H