Lihat ke Halaman Asli

Gara-Gara Pelatihan Menulis, Tiba-tiba Jadi Penulis

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi penulis itu mudah. Asal kita mau menulis, terus menulis, dan terus meningkatkan kemampuan menulis.

Alhamdulillah sudah 9 kali saya belajar dari pelatihan menulis. Dari sekolah Aliyah sampai kuliah. Dari diklat jurnalistik sampai sarasehan penulisan karya ilmiah. Dari pemateri wartawan sampai novelis terkenal Habiburrahman El Shirazy.

Hari ini, Minggu (9/6/2013) saya belajar lagi dengan mengikuti Sarasehan Penulisan Karya Ilmiah yang diselenggarakan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) PIRAMIDA, Universitas Nasional PASIM Bandung, dan didukung Inilah Koran. (Selamat dan sukses buat teman-teman Panitia).

Pematerinya tak tanggung-tanggung, Prof DR Habib Mohammad  Baharun, SH, MA; Pak Deni Hamdani, SE, MSi; Pak Drs Doddy Sholahuddin, MPd, Psi; Pak Eko Travada, ST, MT; dan Bu Dra Dewi Saparina, MHum; dengan moderator Pak Ecep Supriatna, SPsi. Mereka ahli di bidangnya dan di bidang tulis-menulis.

Dengan mengikuti pelatihan menulis seperti ini, ilmu dan seni menulis kita terus bertambah. Selain itu, motivasi akan meningkat dan inspirasi juga bertambah. Muncul ide baru untuk tema tulisan atau pengembangan dari tulisan sebelumnya.

***

Yang menarik, dalam Sarasehan hari ini, Prof. Mohammad Baharun, menyebut nama saya. Beliau memotivasi peserta dengan mengatakan, "Jangan merasa tidak bisa menulis. Di sini ada namanya Syamsul, dia dulu nggak bisa menulis. Tapi sekarang bisa menulis, bahkan membuat majalah dan menulis buku." Kurang lebih begitu.

Habib Baharun (panggilan akrab Prof. Mohammad Baharun) juga menyampaikan pesatnya perkembangan tulis-menulis dan jurnalistik di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, hingga kini banyak memunculkan penulis.

Beliau benar, jangan merasa tidak bisa menulis atau tidak punya bakat menulis. Yang penting menulis saja dan mengikuti pelatihan menulis, insya Allah pasti bisa menulis dengan baik.

Jadi ingat pelatihan menulis pertama, yang saya ikuti di Sidogiri. Waktu itu tutornya juga Habib Baharun. Belum menjadi profesor. Beliau yang punya ilmu dan seni menulis—sebagai mantan wartawan majalah TEMPO dan dosen jurnalistik—begitu lihai mengajarkan tulis-menulis dan jurnalistik.

Terbukti, saat itu, pada Diklat Jurnalistik yang diselenggarakan dari pagi hingga sore oleh Majalah IJTIHAD (terbitan OMIM, MA Miftahul Ulum Sidogiri), saya yang tak bisa menulis tiba-tiba bisa menulis!

Tidak percaya? Tidak apa-apa, karena saya sendiri saat itu juga tidak percaya. Hehe

Bagaimana bisa dalam sehari menyulap orang yang tak bisa menulis menjadi bisa menulis? Caranya, waktu itu Habib Baharun memberi materi sekaligus memberi tugas langsung di tempat.

Saya ingat, ada tugas menulis artikel dengan tema ditentukan, tugas menulis artikel dengan tema bebas, dan  membuat mading, dengan waktu tiap tugas 1 jam.

Satu jam harus bisa menulis dan menyetorkan hasil tulisannya! Bayangkan, betapa kalang kabutnya kami para peserta. Ke perpustakaan pesantren mencari referensi, memutar otak, dan dengan tangan gemetar mencoba menulis dengan ketidakyakinan akan kemampuan sendiri.

Untungnya Perpustakaan Sidogiri memiliki belasan ribu koleksi kitab dan buku, juga koran dan majalah. Hal ini sangat membantu. Ilmu dan seni menulis dari Habib Baharun ditambah referensi yang memadai, bahkan berlebih, membuat kami bisa juga menulis, meski awalnya tak bisa.

Saya ingat, tugas menulis saya, yang pertama tentang sedekah. Dan kedua,yang memilih tema sendiri, saya yang kebingungan mencari tema (maklum masih pemula), akhirnya menulis tentang orang-orang gila yang paling “waras” dalam sejarah. Karena sebelumnya membaca buku tentang itu. Hehe

Bagaimana hasilnya? Semua artikel dibahas hari itu juga. Artikel pertama saya tentang sedekah, mendapat kritik dari Habib Baharun karena judulnya dianggap lucu, dan ditertawakan semua peserta. Waduh, malunya.

Dari sana saya belajar memilih judul yang baik dan menarik. Sesuatu yang sangat berguna dalam melaksanakan tugas jurnalistik dan penyuntingan naskah di kemudian hari.

Kata Habib Baharun, semua artikel akan diseleksi oleh panitia dan yang terbaik akan dimuat di IJTIHAD. Mendengarnya, saya berpikir pasti bukan tulisan saya. Judulnya saja ditertawakan!

Tak disangka tak dinyana, ketika IJTIHAD terbit, ternyata tulisan saya dimuat. Alhamdulillah, meski judulnya ditertawakan, isi tulisannya dinilai baik dan layak muat. Betapa bangganya. Ternyata anak kelas satu Aliyah seperti saya, bisa juga menulis dan tulisannya dimuat di majalah.

Tahun berikutnya saya diangkat sebagai Staf Redaksi IJTIHAD, kemudian sebagai Redaktur. Dan saat pergantian kepengurusan redaksi berikutnya, saya dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi.

Dari sanalah pengalaman terus bertambah, hingga menjadi Pemred di berbagai media yang berbeda: Buletin SIDOGIRI (majalah resmi PP Sidogiri), majalah Maktabatuna (berita buku terbitan Perpustakaan Sidogiri), website www.sidogiri.net (website resmi PP Sidogiri), dan majalah PIRAMIDA Magazine, Bandung (terbitan Unas PASIM).

Alhamdulillah, gara-gara mengikuti Diklat Jurnalistik dan diajari Habib Baharun, serta dimotivasi oleh Mas Dwy Sadoellah (Sidogiri), saya bisa menulis dan menguasai jurnalistik, juga menulis buku. Di antaranya, buku Islam Indonesia di Mata Santri.

***

Dari pengalaman ini kita bisa mengambil hikmah. Pertama, jangan men-judge diri sendiri tidak bisa menulis. Semua orang bisa menulis, asalkan belajar dan terus menulis.

Kedua, belajarlah dari orang yang berpengalaman. Syukur-syukur kalau bisa belajar dari orang yang punya ilmu dan seni menulis. Biasanya, yang punya ilmu dosen jurnalistik, dan yang punya seninya wartawan dan penulis. Dengan belajar dari yang berpengalaman, insya Allah lebih cepat bisa menulis.

Ketiga, teruslah menulis dan kirimkan tulisan ke media. Agar bermanfaat bagi orang lain. Bisa dimulai dari media sekolah, kampus, pesantren, atau lainnya. Bila tulisan tidak dimuat, tidak masalah, namanya juga belajar. Introspeksi diri, perbaiki, menulis lagi dan lagi, insya Allah pasti akhirnya dimuat.

Keempat, jadilah redaksi di media sekolah, kampus, pesantren, atau lembaga lainnya. Mendaftar dan belajar dari redaksi-redaksi senior. Dengan menjadi redaksi, lahan memuat tulisan jelas, dan peningkatan kemampuan juga jelas.

Kelima, jangan berhenti meningkatkan ilmu dan seni menulis. Ikuti berbagai pelatihan, workshop, dan sarasehan menulis. Tentang menulis apa saja: artikel, cerpen, novel, karyai lmiah, dsb. Dari sana, pengetahuan meningkat, motivasi dan inspirasi juga bertambah.

Selamat menulis! :)

Sumber: Catatan Facebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline