UNTUK ketiga kalinya secara berturut-turut Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta gagal mendapatkan Piala Adipura. Artinya sudah tiga tahun ini Pemkot Yogyakarta tidak berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi di bidang pengelolaan lingkungan perkotaan. Salah satu ganjalan utama gagalnya meraih Piala Adipura adalah terkait pengelolaan sampah khususnya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan. TPAPiyungan sendiri menampung sampah dari tiga wilayah yaitu Yogya, Sleman dan Bantul. Kota Yogya sendiri berkontribusi cukup dominan hingga 70% dari total sampah yang dikirim ke TPA Piyungan.
TPA Piyungan setiap harinya menerima lebih dari 300 ton sampah. Dapat dibayangkan bagaimana tumpukan sampah semakin menggunung dari hari ke hari. Yang kalau tidak diselesaikan bisa menjadi bom waktu bagi pengelolaan sampah di kota ini. Sayangnya, dari sampah sebanyak itu, pengelolaan di TPA Piyungan masih menggunakan sistem open dumping dimana sampah hanya ditumpuk begitu saja tanpa ada perlakuan dan pengolahan. Inilah yang menjadi penyebab gagalnya kota Yogya meraih Piala Adipura di tahun ini.
Paradigma Baru
Dahulu pada saat penduduk tidak banyak dan sampah yang dihasilkan juga masih sedikit, pengelolaan sampah secara konvensional tidak menjadi persoalan. Saat ini ketika sampah sudah sedemikian banyaknya, maka harus ada perubahan paradigma di dalam pengelolaan sampah dengan menjadikan sampah sebagai sesuatu yang punya nilai ekonomi. Ada banyak bagian sampah yang masih berguna dan dapat digunakan kembali kalau kita mampu mengelola dan mengolahnya dengan baik.
Melihat adanya potensi nilai ekonomi sampah, maka perlu dirumuskan paradigma baru di dalam pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan. Sampah yang selama ini dianggap sebagai barang kotor dan tidak bermanfaat harus diubah paradigmanya menjadi barang yang punya nilai ekonomi tinggi. Salah satu paradigma baru pengelolaan sampah adalah dengan mengolah sampah menjadi salah satu sumber energi yang dapat memberikan manfaat banyak bagi masyarakat.
Pengolahan sampah menjadi energi sudah banyak dilakukan negara-negara maju. Penulis pernah mengunjungi beberapa tempat pengolahan sampah menjadi energi di Jepang dan Taiwan. Mereka mengolah sampahnya dengan sangat baik, bahkan tempat pengolahannya sangat bersih tidak seperti umumnya kota-kota di Indonesia yang sangat kotor karena sampah berceceran dimana-mana. Bahkan kalau kita lihat dari kejauhan nampak tidak seperti tempat pengolahan sampah melainkan seperti mall atau gedung perkantoran.
Ada banyak model teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah sampah menjadi energi. Di antaranya yang umum diterapkan di banyak negara adalah apa yang disebut dengan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Dengan sistem ini, sampah akan bisa dikurangi hingga 90% karena hanya abu saja yang tersisa. Sehingga ada dua keuntungan yang bisa diperoleh yaitu musnahnya sampah dan listrik yang dihasilkannya. Pada beberapa PLTSa baru, digunakan sistem gasifikasi yang diklaim lebih efisien dan ramah lingkungan.
Teknologi lainnya adalah pirolisis yang dapat mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM). Porsi sampah plastik dapat mencapai 10% yang artinya lebih dari 30 ton sampah plastik diterima TPA Piyungan. Prinsip teknologi ini adalah mengubah plastik menjadi bahan bakar setara bensin dan solar.
Penutup
Piala Adipura telah menjadi dambaan semua kota di Indonesia dan menjadi target utama para pimpinan daerah sebagai tolok ukur keberhasilannya mengelola kota yang dipimpinnya. Sehingga mau tidak mau raihan piala bergengsi ini harus direbut kembali oleh Pemkot Yogya. Konsekuensinya, harus ada rumusan paradigma baru pengelolaan sampah di TPA Piyungan agar memenuhi syarat sesuai dengan UU Pengelolaan Sampah.
Dampak jangka panjangnya tentu tidak hanya persoalan Adipura. Tetapi masyarakat dapat merasakan kenyamanan tinggal dan hidup di Kota Yogya yang bersih dan bebas dari persoalan sampah.