Lihat ke Halaman Asli

Sajak “Cahaya Bulan” di Mataku

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soe Hok Gie, dalam perjalanan bangsa Indonesia tak banyak yang seperti Gie (sapaannya). Terlahir dari keturunan etnis Tionghoa tetapi Gie merasa sebagai orang Indonesia asli dan memang dalam perjalananan kehidupannya Gie lebih nasionalis dan ‘Indonesia banget’ dibandingkan para‘pribumi’.

Ketika rezim pada saat itu mengharuskan semua yang ’keturunan’ untuk ‘meng-Indonesiakan diri’ termasuk nama, Gie menolak hal tersebut, menurutnya dengan namanya tersebut Gie merasa tak ada yang berbeda dari dirinya dengan orang lain dan ia tetap menggunakan nama Soe Hok Gie.

Tak banyak aktivis kampus yang berjuang macam Gie. Acuh tetapi memperhatikan. Marah tetapi sayang di luar tapi ada di dalam. Seorang yang tenang tetapi mempunyai jiwa perlawanan dan pemberontakan. Keras tetapi begitu penyentuh.

Kali ini saya tidak ingin berpanjang lebar dengan biografi dan perjalanan pergerakan Gie yang lebih jauh, yang lebih dalam dengan seluk beluknya yang sulit untuk dimengerti.oleh orang orang yang tak pernah berdiskusi dengannya di atas sebuah lembah: lembah mandala wangi.

Kalimat terakhir yang disebut di atas menelisik keingintahuan saya dengan kalimat kaliamat Gie yang begitu ‘rapih untuk dibaca’ yang mengalir seperti sebuah arus yang menuju muara, yang begitu lembut untuk dicerna nalar dan telinga.

Fokus saya kali ini tertuju pada syair yang indah, sederhana tetapi mempunyai jiwa yang hidup dalam setiap kalimatnya, syair yang sempurna ketika Nicholas Saputra berhasil mensajakannya bersama latar lagu dan musik dari musisi Full kreatif; Erros Chandra.

Gie seperti mempunyai hubungan yang intim tersendiri dengan Mandala Wangi di Pangrango, Gunung Gede. Gie seperti menjadikan kesendiriannya berteman alam Gunung Pangrango yang mungkin bagi sebagian orang-termasuk saya-berbahasa dan pendengar yang baik bagi yang bergelisah.

Sajak “Cahaya Bulan” mungkin lahir ketika Gie benar benar larut dalam buaian sunyi yang secara diam diam menjamahnya dan mengajaknya ‘bersenggama tentang banyak hal’. Memang menyenangkan ketika kita merasakan hal tersebut terjadi pada diri kita sendiri. Akan tetapi Gie seperti menelanjangi diri di alam Pangrango untuk mencurahakan seluruh keluh kesahnya.

Atau mungkin bau tubuh Gie yang mampir di Pangrango juga dikenal alam lain yang ia sempat kunjungi dan itu menjadikannya mudah untuk larut dan intim dengan alam. Hal ini tentu bukan untuk saya berkata jikalau seorang penyair adalah mereka yang rajin ke gunung atau alam bebas lainnya. Masalah sajak dan syair yang mampu dimengerti mungkin lebih kepada kemauan dan keuletan si penulisnya untuk membedah kata demi kata.

##

Ada keinginan membelalak dan kecemburuan saya kepada kemampuan Gie menuliskan puisi “Cahaya Bulan”. Jika terus membacanya berulang ulang maka sebanyak keberulangan saya itulah saya mendapatkan kekecewaan dan penasaran yang membuat saya terkapar dan tak berdaya untuk bisa “meniru” gaya bahasanya yang sederhana dan lembut tersebut.

“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa

Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui…”

Bait pertama dan kedua dalam sajak “Cahaya Bulan” inilah kecemburuan saya akan keseluruhan sajak Gie yang satu ini. Dalam kalimat ini Gie seperti sedang berbicara tentang takdir dan hidupnya sendiri dengan lembut dan penuh artikulasi yang tajam tanpa ambuguitas dan bahasa yang hyperbol. Tentu ini hanya bisa ditulis oleh mereka yang mededikasikan hidupnya untuk kehdupan yang banyak.

“Apakah kau masih selembut dahulu

Memintaku minum susu dan tidur yang lelap

Sambil membenarkan letak leher kemejaku”

Dalam bait di atas Gie seperti sedang berbicara kehidupannya di Kota sana di tengah tengah Mandala Wangi yang tugur mendegarkan seluruh curahan hatinya yang dalam dan tulus. Mungkin tentang sang ibu, ayah atau mungkin pula teman dan kekasih. Kaliamat yang begitu sederhana, tapi di sini saya melihat Gie bisa menangkap semua momen penting dalam keseluruhan hidupnya.

“Kabut tipis pun turun pelan pelan di lembah kasih

Lembah mandala wangi

Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan hutan yang menjadi suram

Meresapi belaian angin yang menjadi dingin”

Disinilah sanjungan Gie bagi Mandala wangi, tempat yang bisa mendengarkan semua keluh kesahnya, tempat ia lari dari semua yang tak alami dan kepura puraan, tempat ia bisa berpelukan dan menciumi alam yang begitu mengerti hidup, disinilah ‘wihdah’ antara Gie dan Mandala Wangi mencarpai makrifat yang luhur ketika keduanya benar benar menyatu dalam satu tubuh.

“Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu

Ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra lebih dekat

Apakah kau masih akan berkata “Kudengar detak jantungmu”

Kita begitu berbeda dalam semua

Kecuali dalam cinta”.

Dan kalimat kalimat di atas inilah yang membedakan kita dengan mereka yang hidup dalam kehidupan, mereka yang melihat semua yang tersembunyi, mereka merasakan apa yang tak tampak. Gie benar benar dari mereka yang mendapatkan ‘karomah’tersebut . “kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta”, oh, hampir saja saya mati denga kalimat ini, dan ini lebih berat bagi saya untuk merangkai kalimat seperti ini daripada jika harus mencari jarum di hutan belantara sekalipun. Ketika kita diperlihatkan dengan kalimat yang artuikulaisnya luas tiba tiba Gie menyambungnya dengan ambivalen yang justru mempunyai arti yang dalam dan kuat sekali.

##

Jika harus mempunyai kecintaan dan favorit dalam kalimat saya begitu suka dengan sajak “”cahaya bulan ” Gie ini, dengan mengecualikan penyair penyair seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Muhamad, WS. Rendra, atau pun puisi model Widji Tukhul yang syarat makna proletarian yang sebaliknya begitu menyentuh bagi saya.

Dalam banyak kesempatan saya ingin sekali bisa meaklukan kata kata, menemukan kalimat, menuliskan banyak cerita dan syair. Sesering itujuga saya mencari “keintiman” dengan banyak hal. Melihat di antara yang tersembunyi, merasakan apa yang taka pernah dirasa, mendengar apa yang diam.

Akhirnya alam juga yang tahu apa yang terjadi pada Soe Hok GIe di puncak Mahameru saat dunia mencoba mendiktenya dalam situasi karut marut rendah, dan semua kejujuran dan cintanya bersemayam diantara angin and kabut yang menyelimuti puncak tertinggi di tanahnya.

“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa

Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui…”

Lebih baik baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”.

Saya ingin menjadikan kalimat saya sebagai jatidiri hidup saya tanpa perlu disembunyikan dan takut didikte manusia lain.

Amin.

Bandar Lampung, 25 Juli 2013

Syamsir Alam. (01:22)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline