Lihat ke Halaman Asli

Komposisi Kekuatan Politik di Parlemen Mesir Sebelum Kudeta.

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

137742218061601856

Nampaknya sedang terjadi negosiasi antara kelompok pendukung Morsi atau Ikhwanul Muslimin dengan pihak pemerintah sementara Presiden Adly Mansour guna mengakhiri krisis yang telah banyak sekali menelan korban jiwa. Semoga Langkah bijaksana ini akan mengembalikan stabilitas politik di sana untuk segera memasuki babak baru melalui penyelenggaraan pemilu baru.

Dari berbagai artikel tentang Mesir, satu hal sepertinya luput dari pembahasan yaitu apa alasan dan mengapa sikap keras militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Al Sisi. Sikap dan tindakan militer memperingatkan Presiden Morsi untuk mengakomodasi aspirasi politik kelompok oposisi guna mengakhir konflik politik yang terus berlangsung. Ultimatum yang memberi waktu 48 jam sebelum kudeta militer 3 Juli 2013 menggulingkan Presiden Morsi dan membentuk pemerintah sementara President Adly Mansour.

Mengapa Jenderal Al Sisi bersikap sedemikian keras dan kaku terhadap Presiden Morsi? Padahal Jenderal Al Sisi, figure yang dikenal sebagai “Soft-spoken general” , figure santun yang dipilih oleh Morsi sendiri, ketika dia melucuti militer dengan memecat Field Marshal Tantawi dari kedudukannya sebagai Panglima militer serta Air Force commander, Lt. Gen. Sami Hafez Anan. Untuk diketahui bahwa dalam parlemen Mesir terdapat 10 kursi yang ditunjuk oleh Presiden yaitu perwakilan Dewan Agung Militer ( Supreme Council of Army Forces – SCAF) dari total 508 kursi di parlemen.

Pada era rezim Mobarak, Supreme Council of Army Forces – SCAF sangat berkuasa dan sepenuhnya dibawah kendali Jenderal Hosni Mobarak, Presiden Mesir selaku panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir. Setelah revolusi 25 Januari 2011 yang menggulingkan Hosni Mobarak dan terpilihnya Mohammed Morsi sebagai presiden sipil pertama, kekuatan politik militer direpresentasikan oleh 10 perwakilan militer di parlemen. Hal ini dapat terbaca bahwa kendali 10 perwakilan militer ini tentu di bawah pengaruh kuat komando Jenderal Al Sisi sebagai panglima militer.

Gambaran kekuatan politik Mesir dapat dilihat dari jumlah dukungan yang menjadi legitimasi politik Presiden Morsi. Dari 508 kursi di parlemen, Morsi mendapat dukungan sepenuhnya dari Partai Keadilan dan Kebebasan ( Ikhwanul Muslimin ) Freedom and Justice Party yang menguasai - 235 seats (47.2%), kemudian dukungan dari Kelompok Muslim independen lainnya ( Other parties ) sebanyak - 18 seats (3.6%) ditambah dukungan 10 kursi perwakilan militer ( 10 seats also appointed by president/military council ).

Sehingga Total dukungan untuk Morsi di parlemen adalah 235+18+10=263 kuris (51,77%) berbanding 245 kursi (48,23%) yang dikuasai oleh oposisi dibawah El Baradei. Dari komposisi seperti ini berarti pihak militer dengan 10 kursi ( 3,6%) di parlemen menjadi bandul politik yang sangat rentan untuk mengalihkan dukungannya kepada oposisi.

Meskipun kecil namun akan sangat menentukan mayoritas suara di parlemen, Kekuatan yang menjadi bandul penentu yang berakibat Presiden Morsi dapat kehilangan legitimasi politiknya. Jika kelompok militer tidak lagi mendukung Morsi maka kekuatan politik akan terbalik. Kelompok opososi akan menjadi 245 ditambah 10 kursi perwakilan militer = 255 kursi ( 50.20% ) dari 508 total suara di parlemen. Sementara Morsi kehilangan 3,6% suara dan posisinya menjadi tinggal 253 kursi atau 49,20% suara. Advis agar Presiden Morsi mengakomodasi kelompok liberal sekuler nampaknya cukup bijaksana. Tetapi rekomendasi pihak militer tersebut tidak dibaikan.

[caption id="attachment_283270" align="aligncenter" width="529" caption="Komposisi Kekuatan Politik di Parlemen Mesir ( Data diolah dari :Egyptnews.com )"][/caption]

Ketika militer benar benar melakukan kudeta, kelompok ikhwanul muslimin yang merasa berpengalaman menjungkirkan Hosni Mobarak mengambil sikap non kooperatif, memindahkan kekuatan politik menjadi tekanan rally massa “parlemen jalanan”, menuntut pembebasan dan pengembalian jabatan Presiden Morsi.

Dalam konteks militer yang sudah bergerak, semua langkah mestinya dikaji secara militer pula. Mengerahkan massa pendukung untuk memaksa militer yang jelas dan pasti bersenjata, sama seperti mengerahkan belalang yang menutupi rel untuk menghadang menghentikan kereta api. Berjuang tidak cukup dengan hanya mengandalkan keberanian saja, berselendang hak dan semangat berani mati. Tetapi harus realistis bahwa para pendukung yang kita pasang adalah nyawa manusia bukan "bidak" permainan catur.

Sekarang kita berharap dan menunggu perkembangan lanjut negosiasi para pihak agar ego kekuasaan masing masing dapat menghentikan konflik dan pembataian yang telah terjadi. Semoga sejarah pergerakan Ikhwanul Muslimin memberikan pelajaran berharga. Ketika Pemimpin IM Umar Tilmisani mengambil sikap rasional menghadapi sikap militer dibawah Jenderal Anwar Sadat pada 1973, Suatu kebijaksanaan yang melahirkan ribuan intelektual muda IM menjadi kader da’wah yang militant.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline