Gonjang ganjing dunia orgibol memasuki tahap lanjut lebih keren yaitu Kementerian Pemuda dan Olahraga membentuk gugus tugas atau tim task force konflik antara dua geng, kelompok Djohar vs kelompok LaNyala. Konflik yang menhancurkan dunia orgibol, dunia sepakbola Indonesia. Tim tersebut dibentuk untuk menyelesaikan sejumlah persoalan dualisme dalam sepakbola Indonesia yang hingga kini belum berakhir. Gugus tugas lima orang yang terdiri dari Ketua KOI Rita Subowo, Ketua KONI Tono Suratman, dan mantan Ketua Umum PSSI, Agum Gumelar. Sekretaris Kemenpora Yuli Mumpuni dan Deputi I Kemenpora Djoko Pekik.
Tim yang dibentuk oleh Pemerintah yang dalam hal ini Menko Kesra Agung Laksono. Menurut saya bahwa kelima orang ini deskripsinya adalah orang waras. Orang waras yang akan berhadapan dengan tugas menyelesaikan permasalahan “kelompok orang gila” bola. Pertanyaan muncul, apakah orang waras akan mampu berhadapan dengan “orang gila” dan berhasil menyembuhkan kegilaan yang sudah hampir masuk kategore maniak. Keberhasilan tim task force ini sangat penting agar sepakbola bisa menjadi cabang olahraga yang menghibur guna meringankan sebagaian beban berat kehidupan rakyat seluruh Indonesia. Bangsa yang haus prestasi dan butuh prestise.
Tingkat keberhasilan menyelesaikan masalah akan sangat tergantung pada sejauhmana pemahaman tim orang waras ini terhadap “orang gila” yang berkonflik memperebutkan lahan bisnis, industry entertainment, pertunjukan sepakbola. Lahan bisnis sepakbola memang sangat menjanjikan di Indonesia. Dari pihak asing tidak kurang dari nama beken seperti manajemen Barcelona, Real Madrid, Inter Milan, Ayax, Arsenal, Liverpool dan ada pula dari Brasil yaitu Cruzeiro mulai masuk dengan cara menyelenggarakan Sekolah Sepak Bola. Dalam lima tahun kedepan akan terlihat dengan jelas postur sepakbola Indonesia baik dalam kacata bisnis maupun dalam kacamata prestise bangsa Indonesia.
Anak bangsa bertalenta yang lahir dari SSB ini tentu butuh klub yang standar internasional dan legal sebagai entitas bisnis tempat mereka unjuk kebolehan dan menata masa depan dengan profesi sebagai pesepak bola. Klub yang mampu menampilkan tontonan menarik layak dijual ke publik domestik Indonesia. Apalagi buat orang kita sendiri tentu lebih paham ketimbang orang asing, apa dan bagaimana core bisnisnya dan dari mana menguasainya. Intinya sepakbola adalah lahan bisnis yang patut dipercaya dan layak investasi. Jadi jelaslah untuk apa mereka selama ini berkonflik. Diut eh duit…biar dikatain “orang gila” tapi kalau urusan duit masih tetap ijo matanya.
Saya berfikir dan bersikap positif saja sehingga berkeyakinan tim gugus tugas ini akan mampu menyelesaikan tugas yang menjadi beban tanggung jawabnya. Sambil berdo’a , mari kita semua berdoa, agar mereka tidak ikutan terseret menjadi kelompok baru “orang gila”. Dari sisi dunia bisnis tidak ada yang tidak dapat dikompromikan karena keuntungan pasti bisa dibagi. Paling sulit dikompromikan adalah kalau soal rebutan cewek he he he….konon katanya dengan cerminpun si doi enggan berbagi.
Apalagi sepakbola masih jelas domainnya adalah olahraga. Semangatnya adalah semangat fair play yang kalau ketemu jalan buntu....yaa lempar koin saja untung untungan, pegang ekor atau kepala…selesai. Anak TK juga biasa dan bisa melakukannya kalau mereka berselisih ketika main congklak….tinggal suit saja…selesai. Tetapi yang satu ini memang bikin bingung karena sedikitnya ada dua professor yang terlibat kok sekian tahun tidak selesai selesai. Tapi maklumlah namanya juga“orang gila”.
Apapun pokok masalahnya, kisruh PSSI sejatinya diselesaikan secara olahraga sepakbola. Dimana mana pada setiap kejuaraan manakala berakhir seri maka penyelesaianya adalah adu penalti. Artinya konflik selama ini sejatinya bisa diselesaikan dengan cara gampang ala dunia olahraga, dunia main congklak. Kalau ingin keren istilahnya, pilih cara khas sepakbola yang lekat dengan fairness - fair play. Jadi sekarang jika dualisme kompetisi terus menyulut konflik silang sengketa berkepanjangan seperti ular tak berekor dan tak berkepala, saya kira harus diselesaikan dengan semangat fairness dan fair play itu tadi.
Jika berkenan saya ingin usul dan sarankan duel dilapangan hijau, biar nyata siapa yang juara siapa yang pecundang. Dua jago ini kita adu dengan wasit dan hakim garis yang ditunjuk oleh FIFA/AFC. Klub yang menang kita tempatkan di hall of fame sepakbola Indonesia yang kita andalkan mewakili bangsa ini pada kompetisi internasional Asia maupun kejuaraan dunia dalam satu musim kompetisi kedepan. Sang juara kita berikan mandate penuh membentuk Tim Nasional secara utuh selengkapnya. Kita sebut saja sebagai juara Seri A.
Sedangkan “jago” yang kalah kita terima sebagai juara Seri B. Kalau tidak mau dengan istilah A dan B mungkin bisa disepakati sebagai Juara Wilayah Timur dan Juara Wilayah Barat. Para pihak boleh lega dan tidak perlu bersitegang urat leher bantah berbantah, karena dua kelompok orgibol ini mendapatkan lahan bisnis masing masing. Keadaan sekarang sudah jelas berdampak kontra produktif terhadap dunia sepakbola nasional dan merugikan atlit saja. Sekarang ini dunia sepakbola kita saya kira dalam keadaan force majeur yang memerlukan langkah luar biasa namun disepakati bersama semua stake holder.
Semoga berkenan dengan artikel ini sebagai sumbang saran yang saya harapkan bermanfaat buat dunia orgibol. Setidaknya saya coba mengikuti ajakan Admin Kompasiana untu menulis seputar “Goyang Senggol PSSI”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H