Perbincangan mengenai Hak Menyatakan Pendapat kembali menghangat, terjadi perdebatan cukup sengit pada acara Talkshow Indonesia Lawyer Club selasa malam lalu. Akbar Faisal dari Partai Hanura menyatakan bahwa fraksinya akan menggunakan Hak Menyatakan Pendapat dalam kasus bail out Bank Century. Angogta DPR RI lainnya, Akhmad Yani dari Fraksi PPP juga mengemukakan hal serupa meskipun menyatakan hal itu belum merupakan sikap resmi partainya. Mengapa wacana HMP ini mencuat kembali? Padahal DPR sudah menggunakan Hak Angket guna menginvestigasi kasus ini.
Masalahnya adalah ketika hasil angket di DPR menyimpulkan adanya pelanggaran hukum dengan isu Korupsi sebagai kata kuncinya. Sejatinya diteruskan dengan menggunakan HMP sebagai konsekuensi logis penggunaan hak angket yang merupakan hak konstitusinal DPR RI. Namun dalam hal ini DPR hanya menyerahkan kesimpulan (opsi C) temuan mereka kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketika itu DPR tidak menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP).
Dalam pandangan saya, terdapat dua sisi dari satu alasan yang sama yaitu “demi kepentingan umum”. Bank Century yang mengalami kolaps kalah kliring diprediksi akan menimbulkan “tsunami” yang berdampak sistemik terhadap stabilitas keuangan dan perekonomian nasional. Dalam hal ini Bank Indonesia dan Pemerintah menganggap perlu melakukan tindakan awal pencegahan munculnya wabah krisis finansial “demi kepentingan umum” rakyat Indonesia. Tindakan pencegahan dimaksud berupa menyatakan terjadinya bank gagal yang berdampak sistemik dan selanjutnya melakukan bail out, menggelontorkan uang agar BC tetap dapat memenuhi kewajibanya sebagai bank. Keputusan mengenai “berdampak sistemik” diambil melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Kemudian dilakukan langkah penyelamatan (bail out) dengan penggelontoran uang kepada Bank Century.
Pada sisi lain, DPR RI bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan peraturann agar jangan sampai terjadi tindak pidana korupsi pada sub sector keuangan dan anggaran ketika pemerintah melaksanakan fungsi serta kewajibannya. Pengawasan dilakukan oleh DPR tentu dimaksudkan agar hukum tetap tegak dan tidak terjadi penyimpangan, apalagi dalam hal kasus bail out BC ini menyangkut keuangan negara. Apa yang dilakukan DPR adalah melaksanakan tanggung jawabnya terkait hak budget sesuai amanah konstitusi Negara UUD 1945. Melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan UU adalah kepentingan umum yang sangat mendasar. Jadi kedua lembaga ini sama sama berbasis pada “demi kepentingan Umum”.
Sikap mana yang akan diambil masyarakat? Manakala terjadi krisis keuangan tentu akan mengancam perekonomian rakyat. Jadi langkah bail out termasuk dalam kategore demi kepentingan umum. Namun dalam pelaksanaanya, apakah karena demi kepentingan umum tadi lantas boleh boleh saja melanggar ketentuan hukum. Atau dengan kata lain “hukum tidak berlaku manakala demi kepentingan rakyat”? Apakah tidak akan ada pihak yang menggugat kebijakan yang “bail out tersebut”?
Menurut saya, bisa saja demikian dengan prasyarat dalam keadaan darurat atau force mayor , atau musibah seperti tsunami Aceh. Dalam hal ini diperlukan komunikasi politik yang intens dan kuat jika tidak ingin terjadi kegalauan dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Konflik kepentingan yang tergambar pada sikap pro kontra akan menjadi beban social politik yang tak terbayarkan oleh seluruh rakyat. Konflik terus berlangsung berkepanjangan hingga tiga tahun terakhir pada kasus ini. Karena pemahaman dan kepekaan "sense of crisis" yang tidak sama merata dikalangan penyelenggara negara.
Hal semacam ini yang disampaikan Presiden SBY pada pertemuan 9 Oktober 2008 dengan Ketua KPK Antasari Azhar, Ketua BPK Anwar Nasution, Kepala BPKP, Kapolri, Jaksa Agung dan sejumlah pejabat tinggi lainnya lagi, guna mendapatkan apresiasi dan persepsi yang sama. Lalu tejadilah “tsunami terhadap Bank Century”. Malangnya ketua KPK Antasari Azhar tidak dalam persepsi yang sama tetapi berbeda pandangan dan bahkan meminta BPK untuk melakukan audit terhadap kebijakan bail out BC………………..dan burung pun tahu bahwa langit tak bertiang.
Kembali kepada wacara menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Menurut saya terdapat kekeliruan strategi oleh para penentang kebijakan bail out BC. Kekeliruannya terlatak pada isu pokok, yaitu mereka menggunakan isu korupsi sebagai kata kuncinya. Kasus korupsi yang sekarang masih menginap dan tidur pulas di KPK. Menurut saya, disitulah kekeliruan strateginya. Jika DPR RI menggunakan strategi “hak budget” yang merupakan hak konstitusional DPR. Perdebatan tidak akan bertele tele dalam menetapkan apakah uang yang digelontorkan sampai 6,7 triliun tersebut adalah uang negara atau bukan uang negara.
Tidak satu rupiahpun pemerintah dapat menggunakan uang negara tanpa persetujuan DPR. Pada kasus bail out ini pemerintah telah menggelontorkan uang negara kepada BC tanpa persetujuan DPR RI. Pemerintah melangkahi Hak Budget DPR atau mungkin dapat disebut pelanggaran terhadap konstitusi negara UUD 1945 melaluisidang pengadilan di Mahkamah Konstitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H