Lihat ke Halaman Asli

Kemenangan Mayoritas Hasanuddin Murad di Barito Kuala dan Phenomena Jokowi

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13521126971124193822

[caption id="attachment_221607" align="alignleft" width="300" caption="Terpilih dengan dukungan 82% suara, Hasanuddin Murad, SH dan Makmun Kaderi, SE dilantik sebagai Bupati/Wkl.Bupati Kab. Barito Kuala - di Kota Marabahan Kalimantan Selatan ( Dokpri: Wahyu/Syam Jr)"][/caption] Minggu, 4 Nopember 2012. Kemaren saya menghadiri undangan acara pelantikan Hasanuddin Murad, SH dan Makmun Kaderi, SE sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Barito Kuala di kota Marabahan, Provinsi Kalimantan Selatan. Inilah untuk pertama kalinya saya mengikuti acara protokoler jabatan pemerintahan yang sebelumnya saya tidak tertarik untuk menghadiri acara semacam ini. Sebagai orang dagang tadinya bagi saya terasa aneh menghadiri acara “kaum birokrat”. Dengan dukungan politik sebegitu besarnya mungkin akan muncul prospek usaha yang berbeda. Jadi apa salahnya ikut nimbrung mumpung diundang oleh panitia. Kali ini saya tertarik karena kedua figure ini terpilih dalam Pilkada dengan dukungan mencapai 82% suara rakyat Barito Kuala. Angka dukungan ini kalau tidak salah berada pada posisi kedua setelah Jokowi-Hadi yang mendapat 92% dukungan politik rakyat Kota Solo. Fakta ini merupakan phenomena yang patut menjadi perhatian karena mungkin saja menjadi pertanda adanya perubahan perilaku politik di republik ini. Dukungan yang sedemikian besar ini bahkan melebihi tingkat dukungan pada masa Orde Baru yang dalam tanda petik era pemerintahan otoriter. Meskipun pilkada ketika itu dengan system yang berbeda yaitu oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota. Persentasi maksimum yang pernah dicapai hanya 76% yaitu terpilihnya Kolonel Daeng Pattompo sebagai Walikota Ujung Pandang ( Makassar ). Proses pemilihan dilakukan oleh DPRD, bukan secara langsung oleh rakyat seperti sekarang ini. Pada masa Orde Baru kitapun maklum dan tidak aneh dengan dukungan yang begitu tinggi pada proses pemilihan kepala daerah. Karena system politik dengan tiga partai yaitu PDI, Golkar dan Partai Persdatuan Pembangunan ( PPP ) ketika itu dikenal istililah single majority atau mayoritas tunggal oleh dominasi Golongan Karya. Namun tetap saja dua sayap oposisi Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan menjadi gambaran ada warna politik yang berbeda sebagai prasyarat kehidupan demokrasi. Masih ada kehidupan demokratis. Kendati demikian terhadap system demokrasi Pancasila tidak luput dari kritik bahwa system demokrasi yang dianut pada era Orde Baru adalah anti demokrasi. Dengan gambaran angka dukungan maksimum mencapai 76% atau single majority diangap keluar dari prinsip chek and balance karena posisis politik Dewan Perwakiloan Rakyat menjadi lemah dan bias menjadi tuklang stempel kebijakan pemerintah. Sistem Demokrasi Pancasila bahkan dicap sebagai system otoriter. Sekarang pada era reformasi ini pemilihan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat dimana Jokowi-Hadi terpilih dengan 92%, lantas sekarang adalagi Hasanuddin Murad, SH – Makmun Kaderi, SE dengan 82%. Kecenderungan kedepan bisa saja terjadi dalam hal mana bupati , walikota, gubernur bahkan presiden akan terpilih dengan dukungan lebih besar dibanding dengan single majority pada era Orde Baru. Fakta hasil Pemilu 2004 SBY-Budiono yng terpilih secara langsung dengan dukungan politik sebesar 62% suara rakyat. Secara politik saat ini sesungguhnya Dewan Perwakilan Rakyat pada posisi yang lemah. Secara politik, kebijakan Presiden dimungkinkan untuk mengesampingkan suara DPR jika tidak melebihi 62% total suara anggota DPR. Perilaku legislatif sekarang nampak seperti mejadi “sok berkuasa” hanya karena SBY-Budiono terlampau toleran untuk mengimbangi perilaku DPR. SBY-Budiono tidak memperkuat diri dengan menggunakan dukungan politik mayoritas rakyat yang diperolehnya secara demokratis melalui pemilu dalam Sistem demokrasi sekarang yang katanya suara rakyat adalah suara tuhan. Mungkin presiden SBY khawatir dituding sebagai pemerintah otoriter diktator mayoritas. Namun bisa saja terjadi, dengan fakta terpilihnya Jokowi di Solo dan Hasanuddin Murad di Barito Kuala yang berhasil mengantongi dukungan politik sangat kuat akan menular keseluruh wilayah Republik Indonesia. Apakah phenomena ini berarti kembali ke single majority atau kekuasaan mayoritas tunggal dimana Legislatif hanya sebagai tukang stempel kebijakan Eksekutif atau bahkan cenderung menjadi diktator mayoritas?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline