Lihat ke Halaman Asli

Apakah Politik Kartu Jokowi Sama dengan Politik Uang?

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam dua kali debat capres, Jokowi dengan cerdas memanfaatkan aspek sosio psikologi massa rakyat Indonesia, seantero kota sampai jauh ke pelosok pedesaan. Jokowi dengan cerdas memanfaatkan acara debat bukan hanya sekadar berdebat menyampaikan visi misi maupun program yang diusungnya.

Tetapi Jokowi lebih spesifik focus berkampanye dengan cara sederhana menawarkan jualannya berupa dua produk andalan yaitu “Kartu Indonesia Sehat” dan “Kartu Indonesia Pintar”. Dikemas dengan istilah yang disebutnya sebagai membangun system.

Jokowi terlihat sangat pede ketika berbicara memegangi kartu sakti tersebut. Mungkin karena punya keyakinan yang sama dengan semua orang bahwa acara debat tersebut tayang di televisi sedemkian massif menyampaikan pesan kepada semua tingkatan strata social masyarakat Indonesia. Dalam konteks Pilpres 2014,  dari lubuk hati rakyat Indonesia sekarang  sangat mendambakan "apa yang ditawarkan bukan omong doang”. Bukan janji tetapi bukti.

Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, bukan janji tetapi bukti. Dua produk andalan Jokowi berupa “kartu sakti” jaminan pelayanan kesehatan dan pendidikan, bukan cuma janji tetapi sudah terbukti di Solo dan DKI Jakarta. Begitulah kurang lebih bunyi pesan kampanye yang disampaikan.

Kondisi sosiologis mayoritas masyarakat Indonesia secara empirik sudah terbiasa dengan “budaya” menerima pembagian bon uang zakat dan beras fitrah pada setiap hari raya Iedul Fitri yang “diterbitkan” oleh Badan Amil Zakat dan Fitrah. Bon pembagian daging ibadah qurban setiap hari raya Iedul Adha atau hari raya haji. Selembar bon ada nilainya berupa uang zakat, beras fitrah maupun daging adalah halal.

Kartu sakti produk andalan yang terus diusung dijanjikan Jokowi pada setiap kegiatan kampanye Pilpres 2014 mempunyai nilai yang setara dengan biaya kesehatan dan jaminan ogkos menyekolahkan anak. Artinya ada nilai tertentu yang dijanjikan ketika seseorang memilihnya nanti Pada Pilpres 9 Juli 2014.

Kita mengenal system nilai tukar dalam bentuk mata uang rupiah. Jika memberikan uang tunai untuk mempengaruhi seseoarang dengan tujuan agar memberikan dukungan politik, mendapatkan dukungan suara rakyat melalui pemilu, aktifitas ini disebut sebagai politik uang yang diharamkan dalam system demokrasi. Peratanyaanya bagaimana dengan “politk Kartu” ala Jokowi apakah sama dengan atau masuk kategore politik uang?

*****

Catatan kecil dari seorang Assisten Resident pada zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Als iemand zegt Nederlandse regering gelogen tegen de mensen. Dus gelieve antwoorden dat de mensen slim zijn geweest, kan niet meer worden voorgelogen, zelfs al zijn ze nog steeds dom.

Jika seseorang mengatakan pemerintah Belanda berbohong kepada rakyat. Jadi silahkan menjawab bahwa orang-orang telah cerdas, tidak bisa lagi dibohongi meskipun mereka masih bodoh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline