Mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum pada Pilpres 9 Juli 2014 nampaknya Mahkamah Konstitusi seperti disuguhi buah si malakama alias serba salah. Mahkamah Konstitusi dengan tugas utama menegakkan konstitusi UUD 1945, dihadapkan pada pilihan risiko berat bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Risiko berat tersebut adalah jika MK harus memutuskan Pilpres ulang.
Keputusan yang nampaknya mustahil dilaksanakan jika menganulir penetapan pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum tanggal 22 Juli 2014, yaitu pasangan Capres / Cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh 70.997.833 suara yang unggul atas perolehan suara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebanyak 62.576.444 suara.
Tetapi bagai buah si malakama jika dari dalil dan bukti yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta setelah diuji kebenarannya memang terbukti secara sah. Sementara sanggahan dengan bukti bukti yang diajukan oleh KPU ( termohon ) maupun pihak pasangan Jokowi-JK sebagai pihak terkait, dalam hal mana seluruh sanggahan tersebut tidak dapat menggugurkan dalil maupun bukti yang diajukan pihak pemohon.
Apakah dengan demikian keputusannya Pilres 9 Juli 2014 akan diulang. Rasanya resiko berat bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat bernegara. Menurut saya, mudharat lebih besar dari manfaatnya.
Bagai buah si malakama, jika gugatan termohon memang terbukti massif namun tidak terbukti terstruktur dan sistemik. Artinya memang terjadi kekeliruan pelaksanaan pemungutan suara karena tidak sesuai dengan pasal demi pasal aturan undang undang. Kekeliruan yang berakibat pelaksanaan pemungutan suara bertentangan dengan amanah ayat (1) pasal 22E UUD 1945. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sekali dalam lima tahun.
Keliruan bukan lantas berarti terjadi kecurangan tetapi pengakuan atas hasilnya berimplikasi bahwa pilpres menjadi tidak jujur dan tidak adil karena dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan undang undang.
Bagaimana Solusinya?
Jika memang demikian fakta faktanya, lantas bagaimana solusinya. Solusinya adalah pemungutan suara ulang (PSU) pada TPS yang telah terbukti tidak sesuai dengan pasal demi pasal aturan undang undang. Hasil perolehan suara pada TPS tersebut dibatalkan. Perolehan suara para pihak pada TPS yang diputuskan pemungutan suara ulang oleh MK otomatis mengurangi peroleh suara yang telah ditetapkan KPU pada 22 Juli 2014.
Posisinya pasangan Jokowi JK = ( 70.997.833 minus X). Pasangan Prabowo-Hatta = ( 62.576.444 minus Y ). Dengan cara ini perolehan suara atau hasil dari pemungutan suara ulang akan menentukan hasil final dan mengikat .MK memutuskan dan menyatakan dengan tegas, tidak ada lagi gugutan dengan alasan apapun.
Warga negara mempunyai hak suara sebagai hak azasinya yang dijamin oleh kontstitusi. Namun warga negara juga bebas untuk menggunakan haknya, memilih atau tidak memilih. warga negara juga bebas untuk menolak untuk dipilih. Menggunakan hak memilih atau dipilih harus sesuai dengan ketentuan aturan Undang Undang.
Demikian sekadar sumbangan pemikiran seorang warga negara tanpa mengurangi rasa hormat kepada lembaga pengadilan. Pemikiran seorang warga negara yang mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya tanpa mempengaruhi dan mencampuri kewenangan judikatif Mahkamah Konstitusi RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H